Lihat ke Halaman Asli

Ribut Achwandi

TERVERIFIKASI

Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Sastra Jawa Kuno dalam Relief Candi

Diperbarui: 5 September 2021   05:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Candi Jago, Malang. sumber foto: pegipegi.com

Candi Penataran, Blitar. Sumber foto wisatabagus.com

Kalau Anda sempat berkunjung ke Candi Borobudur, Anda pasti akan menemui dinding-dinding candi yang dipercantik dengan ukiran-ukiran batu. Ukiran pada dinding itulah yang kemudian kita kenal sebagai relief.

Sebenarnya, relief tidak hanya ada di Candi Borobudur. Candi-candi lain di Jawa, kebanyakan memiliki relief-relief tertentu sebagai ornamen hiasan dinding candi. Tapi, tahukah Anda jika ternyata relief-relief itu rata-rata punya ceritanya sendiri-sendiri?

Agus Aris Munandar, dalam sebuah artikel ilmiahnya "Karya Sastra Jawa Kuno yang Diabadikan pada Relief Candi-Candi Abad Ke-13---15 M" berhasil menyingkap hal tersebut. Peneliti Universitas Indonesia ini mengungkapkan, hiasan relief naratif pada dinding candi-candi itu umumnya berlatar belakang kisah keagamaan, pendidikan, kisah romantis, maupun kisah-kisah lain yang melingkupi kehidupan manusia.

Disebutkan pula, relief-relief itu pada umumnya diletakkan di tempat-tempat yang strategis. Tujuannya, agar mudah diamati para pengunjung. Selain itu, kesan mewah dan megah juga tampak melalui peletakan relief-relief tersebut.

Menyinggung soal cerita pada relief, Agus Aris Munandar menyebutkan jika rata-rata relief itu umumnya bentuk visualisasi dari karya sastra Jawa Kuno. Tak ayal, ia pun menduga, penempatan relief pada dinding candi tak sekadar sebagai penghias candi. Namun, ada tujuan lain.

Penelitian yang dilakukannya membatasi objek amatan. Terutama relief pada candi-candi dari masa Kerajaan Singasari dan Majapahit. Alasannya, kondisi material relief pada candi-candi masa itu masih dikategorikan cukup bagus dan terawat dibandingkan dengan candi-candi lain yang lebih tua usianya.

Seperti diketahui, seni relief masa Jawa Kuno terbagi dalam dua gaya, yaitu gaya Klasik Tua (abad ke-8 -- 11 M) dan gaya Klasik Muda (abad ke-11 -- 15 M). Keduanya memiliki ciri-ciri pembeda satu sama lain, baik dari segi bentuk maupun kisah yang dipahatkan.

Namun, dari ciri-ciri itu Agus Aris Munandar menemukan jika pada relief candi-candi itu terdapat beberapa kisah karya Sastra Jawa Kuno yang berulang-ulang dipahatkan, tetapi ada pula yang hanya dipahatkan pada satu candi, serta ada banyak pula karya Sastra Jawa Kuno yang belum ditemukan pemahatannya menjadi relief candi. Menariknya, ada juga pahatan relief candi yang belum diketahui acuan ceritanya. Seperti pada situs Trowulan.

Dari sekian banyak karya Sastra Jawa Kuno, secara berurutan, cerita yang banyak dipahatkan dalam bentuk reilef/fragmen adalah cerita Arjunawiwaha (7 kepurbakalaan), cerita Panji (7 kepurbakalaan), cerita-cerita hewan/Tantri Kamandaka (di 6 kepurbakalaan), cerita Sri Tanjung (di 5 kepurbakalaan), cerita Garudeya (di 4 kepurbakalaan). Sedang kisah Sudhamala, cerita Bhubuksah-Gagangaking, dan Ramayana dipahatkan pada dua bangunan purbakala. Sedang kisah Kunjarakarna, Bhomantaka, dan Bhimaswarga hanya dipahatkan pada satu bangunan purbakala.

Makna Kisah-kisah yang Terpahat

Melalui penelitiannya, Agus Aris Munandar selanjutnya memaknai kisah-kisah itu dengan meminjam teori Semiotik Charles Sander Pierce. Berdasarkan teori itu, Agus Aris Munanda menemukan, pemahatan fragmen relief cerita Arjunawiwaha mengacu pada karya sastra Jawa Kuno Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa. Pertalian antara bentuk relief dengan uraian cerita bersifat formal, sehingga melahirkan bentuk tanda ikon.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline