Lihat ke Halaman Asli

Cahayadiksi

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku bertumbuh dalam gelimang cahaya. Mungkin ayahku sedikit obsesif dengan lampu. Tak ada satupun sudut dalam rumahku yang remang. Satu saja bohlam lampu mati, beliau langsung grasa grusu mengganti lampu. Kalau stok bohlam di rumah sedang habis,  dengan sigap beliau rela mengambil waktu kerjanya demi membeli satu atau dua bohlam.

Akibat tingkah laku beliau, aku jadi sedikit tertular keadikitifannya terhadap cahaya. Remang sedikit pusing tidak bisa beraktifitas.

Kalau melihat film bule, aku membayangkan tidak enaknya tinggal di sana yang kebanyakan menampilkan rumah-rumah dengan pencahayaan minim dan kekuningan. Walaupun begitu aku sirik melihat langit mereka. Keminiman cahaya rumah mereka mungkin mereka relakan demi menatap bintang di langit mereka yang masih jernih terbebas dari polusi dan asap kota Jakarta yang kotor (dan penilaiannya hanya dari jam 3 pagi sampai jam 7 pagi supaya menampilkan kadar udara jakarta yang masih belum terlalu berpolusi hahahaha)

Tapi kalau aku jadi mereka, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Buat apa menatap cahaya lampu neon atau bohlam yang cuman flat putih dan bikin mata berkunang-kunang kalau bisa semalaman memandang cahaya bintang yang warnanya bisa disesuaikan dengan imajinasi kita dan bahkan terkadang bisa memberikan kejutan berupa bintang jatuh.

Sungguh! seumur umur sepanjang ingatanku belum pernah sekalipun aku melihat bintang jatuh.

Satu jam aku memandangi gugusan bintang dari Padang Cikasur, pegunungan dari timur Jawa, semuanya hanya serupa bintik sinar warna-warni yang berbinar namun enggan bergerak. (yaah aku tidak bisa protes, gugusan bintang dan galaksi yang belum pernah dan mungkin tidak akan pernah terlihat di Jakarta sudah membayar habis semuanya)

Kesempatan berikutnya dari pinggir pantai Cidaon di ujung Barat pulau Jawa, bintangnya tidak terlalu banyak dan mungkin karena aku meremehkan kelapangan langit malam itu, sang bintang yang aku punggungi malah mengabulkan permintaan temanku yang melihat pergerakan sang bintang jatuh. sial!

Beberapa kali aku naik gunung. aku tidak terlalu suka dengan perjalanannya walaupun kalau di Jakarta pasti aku akan kangen. (itu membuktikan kalau kangen itu gak terbatas pada hal yang kita sukai saja) sampai detik ini, aku rela susah payah jalan bawa tas berat pergi ke tempat yang kata teman-temanku 'ihhhh' itu demi foto-foto yang kata teman-temanku 'wahhhhh' walaupun diberi predikat dari orangtuaku 'tempat kayak gitu disamperin'.

Sampai sekarang memang, adiksiku, puncakku, klimaksku dalam setiap perjalanan adalah langit malam penuh bintang atau bulan, padang dengan sunrise, sunset di savana dan barisan rapat pepohonan.

Klimaks-klimaks itu terkadang begitu tertanam di hati sampai ketika sudah pulang ke rumah, lampu yang tadinya sumber ketergantunganku jadi suka aku matikan dan aku berhayal sedang direngkuh malam (walaupun tanpa bintang) tapi seberkas sinar yang menyelip masuk entah dari balik jendela atau pinggiran pintu akhirnya bisa jadi hiburan baru buatku dan pemandangan baru yang menarik.

Sayang, walaupun lampu kamarku kumatikan ataupun lampu rumahku kuremangkan, kerlip galaksi dan bintang tetap menolak untuk pamer diri di langit Jakarta ini. Yang datang mungkin malah maling yang terpancing remang lampu yang dipikir bisa menyamarkan bayangan gelapnya. atau setan yang kabarnya bersahabat sama gelap. ah, mari nyalakan lagi sajalah lampu-lampunya. klik!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline