Joseph Sepp Blatter, Presiden FIFA, baru saja memasuki usia 75 tahun tanggal 10 Maret lalu. Ulang tahun ini mungkin dirayakannya dengan gembira walaupun sebenarnya ia harus prihatin karena berkurang sisa waktu hidupnya untuk mengurus persepakbolaan dunia.
Di Eropa dan Amerika Latin mungkin urusan kulit bundar ini sudah baik, mandiri, dan lancar, namun rasanya Tuan Blatter masih sedih dengan situasi sepakbola di Asia Tenggara. Prestasi negara-negara di kawasan ini belum bisa se bagus negara-negara di Asia lainnya seperti Asia Timur dan Timur Tengah. Kualitas sepakbola masih perlu ditingkatkan supaya lebih bersaing dan menarik penonton yang pada gilirannya menghidupkan kompetisi nasional dan regional.
Kalau ditanya hati ke hati, rasanya Blatter lebih sedih lagi dengan sepakbola kita. Dari pemberitaan muncul suara yang menyatakan bahwa kompetisi belum mandiri tapi bergantung pada APBD, PSSI sebagai organisasi perserikatan tidak didukung anggotanya secara penuh, politisasi olahraga, miskin prestasi, upaya jalan pintas dengan pemain naturalisasi, lalu muncul pula liga tandingan yang, semua itu disebut sebut sebagai terkait dengan kelemshan pada kepengurusan induk olahraga paling populer di dunia ini. Sang Ketua Umum PSSI pula pernah memimpin dari balik terali besi yang dinilai tidak sesuai dengan statuta FIFA, termasuk untuk maju jadi Ketua priode yang kedua. Entah apa sebab kengototan perebutan kursi ketua umum PSSI sehingga sampai 27 Maret 2011 malam masih menimbulkan hiruk pikuk pada kongress PSSI yang batal di Pekanbaru.
Berbagai prasangka dan tudingan menyeruak dari kisruh PSSI ini yang tentunya memprihatinkan. Terlepas dari itu, otoritas olahraga dan pemerintah yang turun tangan juga belum berhasil menyelesaikan kisruh ini. Dubes RI di negeri markas FIFA sampai turun tangan untuk berjumpa Blatter, demikian pula Ketua Umum KONI. Lalu PSSI secara sendiri sampai pula ke ruang kerja Ketua FIFA itu.
Yang sangat menyedihkan kita semua, selain kita tak kunjung dapat menonton sepakbola bermutu dan berprestasi, adalah terangkatnya kisruh ini ke meja Blatter. Bagaikan adik-beradik pergi bertengkar ke rumah tetangga. Kisruh yang jadi aib nasional ini mestinya bisa kita selesaikan secara internal dengan duduk bersama dan para pihak yang bertikai dengan lapang dada berkontribusi agar dapat dipastikan bahwa kisruh PSSI selesai karena olahraga mestinya melahirkan sikap kesatria.
Jika tidak, kesedihan kita akan berlanjut jauh lebih mendalam dari apa yang dirasakan Blatter secara parsial terhadap persepakbolaan Indonesia saat ini. Sekarang terserah pada kita, jika masih mengaku sebagai para kesatria olahraga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H