Lihat ke Halaman Asli

Dialog dengan Seorang Bintang (1): Menemukan Provokator Kerusuhan

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Sungguh beruntung saya punya seorang teman sekolah dulu yang sekarang bergerak di kalangan media yang sekarang sedang melejit ke pusaran politik dan kekuasaan nasional.Lebih beruntung lagi, meskipun saya bukan ahli agama atau teologi, berkesempatan berdialog dengan teman si rising star itu, kita sebut saja namanya Bintang, melalui sebuah jejaring sosial tentang aksi kekerasan massa yang merisaukan kita semua saat ini.

Dialog itu bermula ketika Bintang memunculkan (posting) sebuah artikel dari medianya tentang harapan agar kerusuhan di Cikeusik dan Temanggung diusut sampai tuntas sampai ke provokatornya.Saya sependapat bahwa di negeri yang cinta damai ini tidak dapat diterima adanya penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan suatu perbedaan pendapat.Karena itu dua insiden kekerasan itu harus diusut dan diadili sampai ke dalang atau provokatornya.

Akan tetapi, sesuai dengan berita-berita yang saya ikuti dan artikel itu, sering terdapat hal yang menurut saya kurang seimbang dan proporsional.Orang lebih banyak melihat kejadiannya saja secara simptomatis tanpa mencari sebab atau latarbelakangnya secara sistemik.Yang memberi komentar atau lebih bahaya lagi yang menangani sering subjektif karena tidak paham akar dan esensi masalahnya atau terjebak pada stigma yang keliru bahwa massa Islam suka dengan kekerasan.Karena itu rasanya dialog kami itu perlu dikemukakan kembali sebagai sekedar masukan bagi yang tertarik dan stakeholder masalah ini guna manfaat positif dan produktif (bukan untuk provokasi atau menghidupkan konflik), yang saya mulai dengan komentar pada posting Bintang, sebagai berikut (editing untuk perapian tata bahasa dan penekanan makna):

Saya (F): Hakekatnya si Anthonius dan Ahmadiyah juga termasuk provokator. Selain menindak tegas pelaku kerusuhan dan aktor intelektualnya, juga harus tegas pada penegakan fatwa MUI, SKB, dan kode etik kerukunan antar-umat beragama supaya tdk ada lagi yang berani coba-coba, terus kalau ribut dapat keuntungan dari stigma yang dimunculkan oleh pelaku kerusuhan yang sudah diakui bahwa mereka terprovokasi. Contoh ketegasan: di negara tetangga Ahmadiyah sudah lama dilarang, kalau ada yang menista agama (termasuk oleh dan terhadap lingkungan penganut Hindu dan Kristen), orangnya langsung ditangkap dan diadili sehingga jera. Bisakah kita demikian?

Bintang (B): Agama kok dilarang bos. Inkonstitusional donk?

Kalau setiap kegiatan dakwah dianggap penistaan agama oleh pemeluk keyakinan lain ya kita umat Islam harus bercermin baik baik. Coba dengar khutbah Jum'at di banyak mesjid. Acapkali amat menista agama/keyakinan orang lain. Kalau mau Islami, mari tertibkan dulu ke dalam sebelum menertibkan orang lain kan?

F: Yang dilarang itu bukan agamanya tapi penistaan agama itu! Apa kebebasan itu bisa diartikan kita bebas pula menginterpretasikan sesuatu yang sudah devine belief sesuka-suka kita terus beri nama sesuai aslinya yang sudah commonly recognized? Dalam hal sebaliknya atau pihak manapun pasti juga tidak dapat diterima. Yang tidak bisa diterima dan dianggap penistaan adalah ketika Ahmadiyah menyebutkan ada nabi sesudah Muhammad SAW dan mereka merubah/menambah isi Al-Quran lalu agama mereka tetap memakai label Islam. Jika mereka pakai nama sebagai agama Ahmadiyah saja tanpa embel-embel Islam, saya yakin orang Islam tidak akan keberatan. Paling hanya menyayangkannya saja sambil mendoakan agar mereka diberi hidayah untuk kembali ke jalan yg sama.

Islam juga dengan tegas mengajarkan untuk tolerir pada agama/kepercayaan orang lain, Lakum dinukum waliyadin. Untuk mempertahankan negeri pun kita diajarkan untuk mengajak segala kaum bekerja sama. Juga dilarang memerangi suatu kaum kecuali kaum itu terlebih dahulu memerangi atau mengusir kita dari kampung kita. Dalam perang pun dilarang mengganggu wanita, anak-anak, orangtua/uzur, dan membunuh ternak serta tanaman.

Jadi karena itu saya tetap sepakat pada tindakan untuk mengusut dan menindak mereka yang melakukan kekerasan di Cikeusik dan Temanggung, dengan harapan sambil melindungi pula agar tidak terjadi lagi penistaan agama sehingga kita bisa hidup berdampingan dengan aman dan damai. Dalam hal ini negara lah yg harus jadi penengah dan pelindung semua kepentingan. Itu mungkin sedikit yang saya fahami dalam hal hubungan antar-agama/ummat yang bisa kita aplikasikan di negara kita dengan mudah, jika kita mau. Terima kasih, bro.



(dilanjutkan ke bagian 2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline