Lihat ke Halaman Asli

Presiden Mubarak Hilang Sensitivitas, karena Jebakan kekuasaan?

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keadaan di Mesir yang tiap hari terjadi demo menuntut Presiden Husni Mubarak mundur, sedang jadi fokus dunia. Pada hari ke tujuh, demo hampir 2 juta orang masih belum membuat sang presiden bergeming. Dia hanya menyatakan akan memperbaiki keadaan, merombak pemerintah dengan memasukkan lebih banyak pejabat-pejabat yang lebih muda, dan tidak akan mencalonkan diri lagi pada pemilu bulan September nanti.

Terlepas dari bersikukuhnya dia pada alasan konstitusi, tanggapan ini jelas tidak memuaskan pengunjuk rasa yang tuntutan mereka merupakan resultante dari ketidakpuasan atas sang presiden yang sudah memerintah sekitar 30 tahun. Apakah alasan konstitusional cukup kuat jadi alasan untuk bertahan atau sebagai seorang pemimpin yang demikian lama memerintah Husni Mubarak jadi seorang penguasa yang sudah kehilangan sensitivitas?

Jika kita perhatikan sejarah para pemimpin negara yang memerintah dalam perioda yang panjang, kejadiannya selalu mirip kejadian di Mesir ini. Marcos dan Suharto adalah contoh "diktator" yang berakhir tidak happy ending. Secara sederhana tracknya mirip: berawal dari situasi rada kacau, muncul sebagai pahlawan menyelesaikan masalah, dipercaya serta didukung dan sukses, karena merasa nyaman lalu mengembangkan hegemoni kekuasaan (dengan utak-atik konstitusi dan politik) bersama keluarga serta kroni dan kalau perlu dengan backing negara kuat, mulai lupa kelurusan misi dan kepentingan rakyat, menumpuk harta dengan berbagai cara dan trik, karena merasa kuat dan konstitusional maka abai pada masukan dan kritik, memberangus kritik keras dan oposisi, tidak dapat lagi melihat kekurangan sistem yang dikendalikannya, akhirnya didemo terus menerus, dan konflik dengan banyak korban atau mundur. Yang jelas, akhirnya jatuh secara crash landing.

Melihat track ini, kita dapat faham kenapa Presiden Mubarak tetap tidak mau mundur. Dia merasa sudah berbuat yang terbaik bagi rakyatnya sejak puluhan tahun yang lalu sehingga senantiasa terus memperkokoh posisi secara sistematis: dengan kroni, kekuatan tentara, dengan dukungan negara asing, mengubah konstitusi, dan penguasaan media. Padahal pada saat yang sama rakyatnya mulai merasakan tidak diuntungkan, kesejahteraan tidak meningkat, dan kehidupan makin sulit.

Dengan nina-bobo kekuasaan dan harta, hal ini tidak lagi nampak oleh sang pemimpin yang sudah jadi penguasa. Sesuai makna kata-kata bijak Lord Acton, makin kuat posisi sang penguasa, makin terjerumus dia dengan sistem yang korup. Dengan kata lain ketika seorang pemimpin sudah berubah jadi penguasa maka dia akan kehilangan sensitivitas sehingga abai pada kepentingan rakyatnya.

Mudah-mudahan para pemimpin kita adalah orang-orang yang amanah dan sensitif guna segera tercapainya negara yang madani. Hendaknya mereka bukan haus kekuasaan, yang suka duduk tapi lupa berdiri, membangun dinasti rapuh dengan keluarga dan kroni yang tidak kompeten, serta bukan pula yang punya vested interest. Semoga Allah mengampuni dan senantiasa memberi petunjuk pada para pemimpin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline