Lihat ke Halaman Asli

Penerimaan CPNS, Pembusukan Birokrasi atau Entri Kemajuan Bangsa?

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penerimaan CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) nampaknya kembali menjadi topik hangat di tengah masyarakat kita.Proses penerimaan di seluruh nusantara pada akhir tahun lalu telah membangkitkan arus pengurusan berbagai surat dan syarat para peminat yang demikian keras ingin jadi PNS.Tidak heran jika ini menimbulkan berbagai masalah dan isu miring yang berbeda-beda dari satu provinsi ke provinsi lain.

Di suatu provinsi ada yang sampai menduga ada kecurangan dan akan mengadukannya ke KPK; di provinsi lain lagi, DPRD ikut sibuk mengawasi proses penerimaan dan berusaha minta dengar pendapat dengan instansi pengelolanya.Demikian antusiasnya, ada pula demo para peserta test yang minta diumumkan hasil test tertulis mereka karena kawatir dikalahkan oleh calon lain dengan cara-cara curang.Katakanlah jika karena tertipu calo misalnya, memang ada yang mau melakukan kecurangan demikian, berapa “tarif” pelicin itu? Apakah mungkin sampai Rp150 juta?

Bagi saya yang sudah jadi PNS selama hampir tiga puluh tahun, memang aneh kalau seorang sarjana mau mengeluarkan uang demikian besar untuk jadi seorang CPNS yang kelak akan mulai dari golongan III/a.Dibanding dengan gajinya sebagai seorang PNS, kan uang sebesar itu sudah bisa langsung digunakan untuk memulai suatu usaha yang meskipun kecil tapi bisa mandiri untuk suatu kehidupan baru.Ketika hal ini saya bincangkan dengan rekan-rekan sesama PNS, beberapa orang tersenyum penuh arti yang akhirnya menjelaskan bahwa jika memang ada, jumlah itu pasti sudah melewati hasil kalkulasi para peminat dimaksud.

Saya lalu coba menyelami.Seorang pegawai baru golongan III/a, katakanlah dalam beberapa tahun pertama jumlah gaji dan berbagai tunjangan rata-rata sebesar tiga juta per bulan, maka uang tadi sudah kembali hanya dalam empat tahun dua bulan.Sementara mendapatkan pekerjaan di lingkungan swasta dengan gaji segitu hari ini demikian susah, maka cukup rasional jika orangtuanya cari katabelece atau menempuh jalan itu.Mungkin jumlah ini dianggap si orangtua yang “sayang anak” sebagai modal yang masih harus dikeluarkan selain biaya kuliah dan untuk menikahkannya kelak yang setiapnya bisa tidak kurang dari segitu.

Masalahnya bukan hanya soal ada atau tidaknya modal orangtuanya tapi lebih pada sisi pandang kualitas kemanusiaan kita secara makro.Adalah sangat mengerikan jika untuk mengantarkan dan melepas anak kita ke laman juang kehidupan secara laik perlu biaya untuk kuliah, pelicin untuk dapat kerja, menikah, dan kebutuhan awalnya tidak kurang dari Rp 500 juta per orang.Dibandingkan dengan bangsa lain yang madani, alangkah mahalnya!

Kalau ini dianggap wajar maka laman kehidupan itu nanti bukan diisi oleh mereka yang kapabel memajukan kemanusiaan kita tapi hanya oleh insan-insan materialistik.Lebih mengerikan lagi kalau sebagai PNS mereka melahirkan birokrasi yang menghalalkan segala cara, bermental calo, dan hedonistik yang easy come easy go. Secara makro tentu keadaan ini sangat menghambat, bahkan akan merugikan kemajuan bangsa.

Secara moral pula, sangat sayang kalau si CPNS tadi ketika mulai bekerja ia berangkat dengan bekal yang tidak senonoh.Sogok menyogok dan pelicin sudah dianggap lumrah karena dicontohkan dalam mendapatkan peluang kerja untuk dirinya.Ia akan menjadi bagian dari morally lost generation sehingga mata rantai pembusukan kualitas sumberdaya manusia kita tidak akan pernah putus yang dapat mendorong kita menuju sebuah bangsa besar yang oleh pebusukan dari dalam dirinya sendiri tinggal nama dalam buku-buku sejarah.Naudzubillah.

Mudah-mudahan saja semua itu hanya sebuah isu yang berangkat dari kekawatiran para peserta test CPNS karena setelah kehebohan serupa pada penerimaan tahun 2009, tentu ada perbaikan dalam sistem dan proses penerimaannya.Orang juga akan makin takut untuk berbuat tidak senonoh karena pengawasan menuntut birokrasi harus makin transparan; dalam kasus pelicin ini, pihak penerima, perantara, dan pemberi akan terkena ketentuan pelanggaran, baik hukum maupun agama.

Adanya kebijakan dan tindakan yang drastis dan tegas agar dalam proses penerimaan CPNS tanpa vested interest Insya Allah akan menghasilkan CPNS terbaik.Sikap keberpihakan kepada kemanusiaan itu sendiri tentu tetap dapat diterapkan secara proporsional dalam kerangka menuju PNS yang profesional dan produktif.Selain itu perlu kita kembangkan pemahaman dan upaya-upaya untuk mendorong lebih banyak generasi muda yang berminat pada wirausaha serta terus mengusahakan ketersediaan lapangan kerja secara konsepsional dan komprehensip demi kemajuan bangsa.Insya Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline