And ini dia lanjutan dari bab sebelumnya for Korea Love Story.....
Sekalian mau pamitan karena bakal hiatus untuk waktu yang gak jelass
Happy reading ya....
****************************************
(buat yg mau liat gambarnya Gimbap)
Saat itulah aku mendadak berpikir, kenapa aku harus selalu mengekor akan apa yang dilakukan oleh Linda ya? Apa benar karena aku khawatir dia akan meninggalkanku tiba-tiba dalam perjalanan ini? Atau tidak ingin ia menjadi malu karena banyak yang aku tidak mengerti? Lee Seong-jin melirik diriku sepintas sebelum ia kembali berbincang dengan temannya. Apa dia berpikiran sama? Huhuh, terlalu pagi untuk ber ge-er-ria…
“Nuna, you like Korean pop music, right?” aku jadi terkejut akan pertanyaan Park Sang-min. Huh, apa dia tidak tahu kalau aku sedang mengheningkan cipta? Ia lalu memasang radio yang tengah memutarkan lagu-lagu pop Korea. “Tonight we will go to noraebang… You know… karaoke? It will be your chance tonight to sing along with us…”
Gluk. Aku dan Linda terpana sejenak. Aku bisa memalukan rakyat dan bangsa Indonesia nanti dengan suara sumbang ini… Linda menyeringai sambil mengatakan bahwa bukankah aku sangat ingin tahu kebiasaan mereka sebagai penduduk lokal disini? Itu memang sudah pasti, tapi tidak termasuk untuk ikut bernyanyi-ria di karaoke… Bahkan di Jakarta saja aku tidak pernah ke karaoke… !
Ketika kami akhirnya sampai di pantai Haeundae, suasananya lengang. Aku mengira karena ini musim gugur, tentunya tidak ada yang mau berenang di air laut yang dingin itu. Ternyata dugaanku salah. Walau tidak banyak, tapi kulihat ada beberapa anak-anak yang dengan cueknya berenang di tidak jauh dari tempat orang tua mereka duduk di pantai. Sesekali mereka meneriaki anak-anak itu. Mungkin memperingatkan mereka agar jangan terlalu ketengah.
Kami mulai duduk di pasir putihnya yang dingin. Aku tergoda untuk merendam kakiku yang mulai pegal di dalam air laut. Namun udara yang dingin membuatku agak ragu. Tambahan lagi Lim Young-eun yang duduk disebelahku menawarkan makanan yang dibawanya. Tawaran yang ini jelas lebih menarik.Hmmm, enak sekali… Lee Song-jin meninggalkan kami sejenak untuk membeli minuman di mesin-mesin yang banyak tersedia di tepi pantai ini. Linda mengajakku untuk melihat-lihat ke bagian pantai lainnya. Tapi aku menolaknya. Akhirnya sambil mengomel, ia pergi bersama dengan Park Sang-min dan Lim Young-eun.
Kemudian aku menyadari kalau aku sendirian dengan makanan ini. Sambil tertawa tertahan, aku mengambil Gimbap yang kesekian dan mengunyahnya perlahan dalam mulutku. Ini sudah lebih dari cukup untuk mengganjal perut. Pulang dari sini, orang tuaku bisa menjerit nih melihat betapa banyak tambahan lemak di badanku.
“You are still here because you are hungry or is it because you are too lazy to walk?” bersamaan dengan pertanyaannya, Lee Song-jin memberikan satu kaleng Pocari Sweat ke pangkuanku. Huih! Bikin kaget saja… Aku menoleh kearahnya dan mendapati ia mulai duduk di samping keranjang makanan tersebut. Ia mengambil Soon-dae dan mulai mengunyahnya sembari membuka kaleng minumannya.
“Well…?” alisnya terangkat… Sesuatu yang nampaknya sering dilakukan jika ia tengah bertanya.
Hanya cibiran yang aku berikan. Silahkan tebak saja sendiri. Walau rasanya aku tahu kalau dia tahu bahwa dua alasan itu benar. Ia pun akhirnya membiarkan saja aku menikmati makananku.
Wah, enaknya berada disini. Udaranya sejuk. Walau sudah mulai menjurus ke dingin, tapi angin yang berhembus tidak kencang. Pantainya pun bersih. Tidak ada orang yang membuang sampah sembarangan. Kami tidak perlu menggelar alas seperti tikar atau koran untuk duduk disini. Yang kurang dari pantai ini mungkin barisan pohon kelapa yang seperti yang ada di pantai-pantai alam tropis. Hm, sekarang nikmati saja pemandangannya. Akupun melepas sepatuku dan kaos kaki. Membiarkan kakiku diselimuti pasir putih ini. Rasanya menyenangkan…
Menit demi menit berlalu dalam diam. Aku tidak pernah mencoba hanya duduk diam tanpa berpikir mengenai pekerjaan atau apapun… Hanya saja, semua itu buyar dengan keinginanku untuk mengunyah dan dengan kesigapan tanganku bergerak mengikuti perintah dari otakku. Yang lain kemana ya…? Bisa-bisa Gimbap ini akan kuhabiskan dengan sukses… Ah, mendingan aku jalan-jalan sebentar deh…
“I think I would like to take a walk,” sambil berdiri aku agak menjauh darinya. Tanganku menepuk-nepuk celana yang mulai dihiasi dengan pasir. Aku mulai berjalan di atas pasir yang menyambut lembut kedua kakiku… Mungkin enaknya kalau kubiarkan air laut itu mengenai kaki…
“Okay. Wait up. I will go with you…” Lee Seong-jin pun bergegas menyusul.
Sambil berjalan, aku memperhatikan para pengunjung lain. Beberapa diantara mereka kelihatannya datang sendiri. Mereka duduk menatap ujung horizon. Entah apa yang tengah berkecamuk dalam pikiran mereka. Kuhentikan langkahku dan menatap gumpalan awan yang berarakan melintasi langit dengan perlahan. Tidak ada yang lebih menyenangkan untuk berada di pantai dan mengawasi bagaimana awan berubah bentuk. Terkadang aku melihatnya menjadi segerombolan kuda yang tengah berlari. Di waktu lain seperti ada wajah sinterklas yang tengah tersenyum. Kalau sudah seperti ini, aku bisa berdiri disini tanpa merasa lelah. Sambil membiarkan air laut sesekali menyapu ujung kakiku. Airnya dingin juga yaaa…
Aku mengarahkan kameraku ke sepanjang pantai. Ia berdehem. Sambil menyeringai aku memberikan kameraku lagi kepadanya. Ada senyum simpul di wajahnya ketika menerima kameraku. Tanpa banyak bertanya, ia mengambil gambar diriku dengan latar belakang pantai. Yah, kurasa satu kali saja sudah cukup.
“Tell me, which one do you like; the beach or the mountain?”
“Oh,”aku membuat raut muka yang lucu. “And I thought you knew the answer…,”
Ia menggelengkan kepala dan memandangiku dengan muka yang … astaga serius sekali.
“Well, of course I love the beach most. I remember my parents like to take me and my sister to the beach whenever they have the time. We could built sand castle, playing with water, riding a boat…,” aku tersenyum mengingat kenangan itu…walau tidak terlalu ingat, pastinya aku yakin pantai itu bukan di Ancol. “So, I always feel that a holiday without going to the beach … is not a holiday…”
“I don’t like going to the beach during summer time…” berganti ia menjelaskan setelah mendengar cerita dariku sembari menggelengkan kepala. Mungkin membayangkan betapa padatnya orang yang tengah berjemur disini. Dan bisa kuduga betapa repotnya mencari tempat yang enak buat duduk-duduk. Sama saja dimana-mana kalau sudah masa liburan.
“I bet that you like the mountain because it is a quiet place for you to think about what have you been doing and what is the real purpose of your life…”
Dia menoleh dengan cepat. Raut wajahnya terlihat kaget. Aha, kali ini tebakanku sangat jitu mengenai sasaran.
“Is that what you are thinking of me?” ia menggaruk kepalanya. “Well, yes… I admit. I prefer quiet place. Here…, I have other place that I can go whenever I need a private moment to be alone with my thoughts…”
Hmmm, aku yakin kamu memang lebih senang dengan suasana alam yang tenang… Aku jadi ingin tahu, dimana tempat yang ia katakan sebagai tempatnya duduk dan larut dalam pikirannya.
“Ndy…!” kudengar suara Linda dibelakang kami. Aku melihatnya berlari-lari kecil.
“Yuk, balik… Gile kamu… Keranjang makanan ditinggalin begitu aja… Tadi kita sempat mampir di kios-kios kecil… Beli ikan mentah…Bukan gurita hidup kayak yang disodorin sama Michael itu…”
“Kamu khawatir banget ya Gimbap-nya aku abisin?” aku pura-pura mengomel. Yah, Linda selalu suka dengan Sashimi. Mungkin yang dia beli tadi, ya makanan yang serupa itulah.
“Hmm, sebenarnya sih iya…,” ia memperlihatkan raut wajah kesal. Lalu ia menengok ke arah Lee Seong-jin ,” Oh, I see that Sandy has finally got herself a new assistant to take her picture,” kalimat Linda berikutnya cukup ampuh membuatku merasa tidak enak hati. Huh, aku berpura-pura tidak mendengar saja dan tetap meneruskan langkah. Tidak kudengar jawaban dari Lee Song-jin. Oh, no. Baru teringat. Aku lupa meminta kembali kameraku tadi. Kurang ajar banget sih si Linda ini. Dia kok lihat aja?!
“You better watch out with her,” tanpa rasa segan Linda masih melanjutkan. “She will ask you to take her picture 10 times in a row… She should work as a model, actually…”
“Oh, shut up…,” akhirnya aku tidak tahan untuk tidak menjawab. Hhhhh, untung temen sendiri. Kalau tidak…
“I don’t mind,” jawab Lee Song-jin. Ia berjalan agak cepat mendahului Linda dan menyusulku. Tangannya memberikan kameraku yang masih dipegangnya. Dengan gugup aku menghentikan langkah sejenak untuk menerima kamera tersebut “If that is how she appreciate the beauty of my country…”
Lalu masih dengan tersenyum, ia meninggalkan kami untuk menghampiri Park Sang-min dan Lim Young-eun yang sudah berada di tempat yang kami tinggalkan tadi terlebih dahulu.
“Oh, akhirnya kamu sukses mendapatkan orang untuk menjadi fotografer pribadi ya?” nadanya mencemooh. “Kalau tahu begitu, aku tidak akan buru-buru balik… Malah, sebaiknya kutinggalkan saja kalian…”
“Memangnya kamu mau kemana dengan mereka berdua?” aku sengaja menambahkan nada penasaran dan berpura-pura tidak mendengar nada suaranya yang menyebalkan tadi.
Rasa penasaranku membuatnya senang. Linda lalu mengatakan bahwa nanti Park Sang-min akan membawa kami ke UN Cemetary. Dengan heran aku menanyakan apa yang perlu dilihat di kuburan?
“Ah, kamu ini…,”desah Linda. Ia mengingatkanku akan guru sejarah di SMA yang pasti merasa terhina akan pertanyaan seperti tadi. “Ini bukan sembarangan makam pahlawan. Dikelola langsung sama PBB lho. Dan disana, ada juga pusat kesenian. Siapa tahu aku bisa melihat salah satu pementasannya…”
Oh, begitu. Iya deh. Kalau dipikir-pikir memang sejak kami sampai disini, belum satupun kesenian tradisional yang bisa kami lihat secara langsung. Kami hanya mendengar cerita saja dari Lee Song-jin dan rekan-rekannya.
“Dan bukan itu saja,” tambahnya dengan wajah yang berbinar-binar. Uh-oh, ada apa ini? Terakhir aku melihat wajah seperti ini waktu Linda menyatakan bahwa ia sudah berbaikan dengan Dion.
“Ya?” dengan was-was aku bertanya.
“Kita akan menonton filmnya Bae Yong-jun yang baru itu… “
Yang benar nih?
Tanpa buang waktu semenit pun, Linda menjelaskan padaku bahwa ia menceritakan niat awal kami melihat film tersebut pada Park Sang-min. Aku tidak tahu bagaimana cara Linda menceritakan hal tersebut. Karena Park Sang-min lalu berinisiatif mengajak kami nonton di Lotte Shopping Mall. Resikonya, tentu saja kami terpaksa harus menonton film tersebut tanpa subtitle bahasa Inggris yang biasanya disediakan bagi film-film yang diputar dalam acara PIFF ini.
Aku menatap Linda dengan pandangan menyelidik… Kok ia antusias sekali menonton film tersebut… Dibutuhkan beberapa detik dan tatapan garing dari Linda bagiku untuk menyadari niat sesunggguhnya.
“Apa Park Sang-min tidak akan diomelin Michael gara-gara membawa kita nonton?” sambil menghela napas aku bertanya padanya.
“Kurasa tidak… Lagipula aku tidak memaksanya untuk mengajak kita nonton… Please note. Kita yang akan mentraktir mereka. Hitung-hitung ganti ongkos bensin mobilnya lah… “ lalu dengan tidak acuhnya ia berjalan menghampiri yang lain sambil melambaikan tangan. Meninggalkan aku yang masih berdiri di tempat.
Mau tidak mau aku harus mengakui, tanpa Linda …aku betul – betul payah…!
**********************************************************************
yang sebelumnya silahken mampir ke
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H