Hi all...., sambungan bab 8 telah tiba.... Selamat membaca ;) Thank you for reading....
===================================================
“Well, imagining this… You wish to take your friends picture… Then suddenly there is this unwanted person passing by in front of your friends… The picture is ruin, already…”
Alasan yang jelek sekali. Maksudnya aku ini the unwanted person? Dia terlihat bingung sejenak. Kemudian ia menutup mata sejenak dan menarik napas. Hmmh, jangan bilang kalau sekarang dia yang jadi bete. Semenit kemudian ia membuka matanya kembali dan memandangiku. Aku jadi merasa seperti anak berumur 5 tahun yang tidak mengerti juga tentang fotografi.
“You missed my point…,” ia kembali menarik napas sambil mengusap dahinya. Kayaknya beneran nih dia yang jadi bete. “You see, you are going to make people confuse when they look at the photo. Which one they should see? The scenery? Or you?”
Hih…terlihat sekali kalau aku itu norak ya… Aku berbasa basi memberi alasan bahwa ini adalah pertama kalinya aku keluar negeri. Aku ingin, agar diriku terlihat di setiap gambar pemandangan yang bagus. Disudut manapun.
“This is really your first time to go abroad?” ia bertanya dengan nada tidak percaya. “Wow…, I must say… I can not believe that you decide to go without using a tour or something… “
Waduh, pujian itu mestinya untuk Linda. Kalau tidak ada dia, aku juga tidak akan berani melenggang sendirian di negara yang aku tidak mengerti sama sekali bahasanya.
Ia agak mengernyit. Hhmh, pasti dia tengah menahan diri untuk tidak bilang, yah… udah kelihatan sih kalau aku ketergantungan banget sama Linda. Sial. Tapi, kenapa jadi pusing amat dengan apa yang dipikirkannya tentang diriku?
“I suppose the idea of visiting Korea comes from her in the first place,” lanjutnya lagi. “Am I right?”
Nah, sekarang pasti dipikirnya aku tipe orang yang tidak punya keinginan sendiri. Hmm, seandainya dia tahu kalau kami nyaris mendekati kegagalan dalam perjalanan kesini.
“Well, going to Korea is too much expensive for me. I have never dream that I would finally be able to come here at last…” aku mencibir ke arahnya. “Did you know that I have wiped out my entire saving just to go here?”
Lee Song-jin terdiam sejenak mendengar kalimatku. Ia hanya memberi komentar pendek, bahwa sebenarnya biaya ke Jepang jauh lebih mahal.
“Beside,” aku melanjutkan. Berusaha agar suasana tidak terus-terusan menjadi kaku. ”She thought that I am going to have fun by hunting together for those gorgeous male celebrities over here…”
Ketika kulihat wajahnya yang tercengang, aku mengacungkan telunjuk ku membentuk pistol dan mengejeknya,”Gotcha! You should have seen your face just now… It was so hilarious…”
Lee Song-jin tertawa sambil menyandarkan tubuhnya di dinding pagar kuil. “You almost had me then…” Lalu matanya memberi kode padaku untuk berjalan bersama mengitari halaman kuil tersebut. Kami berdua berjalan perlahan. Melewati tempat dimana tadi Linda berfoto bersama dengan yang lain. Sementara Linda beserta Park Sang-min dan Lim Young-eun sudah beranjak ke atas, mendekati patung Sea Goddess tersebut.
“So now that you are here… What do you think about us, Korean people?”
Pertanyaannya membuatku teringat akan pertemuanku dengan bapak pengendara bis dari Incheon itu. Dan juga pengendara taksi kemarin. Mereka semua terlihat begitu kebapakan dan ingin melindungi. Orang-orang yang tidak kami kenal malah terlihat begitu tulus menawarkan bantuan. Sementara itu dengan Michael… Kok aku merasa agak lain ya… Bukannya tidak berterima kasih karena dia sudah bersedia menampung kami… Tapi dia seperti tidak mau mendengar bantahan dari orang lain… Ketika dilihatnya aku tidak menjawab, ia langsung menebak bahwa aku masih kesal akan sikap Michael semalam.
“Actually, his attitude does drive me and Linda going nuts,” aku menggelengkan kepala pertanda putus asa. “He seems having troubles to understand about other people’s culture”
“Michael hyeong maybe a little bit enthusiastic in introducing our life style to you both,” Lee Song-jin memberi tanggapan. “But he meant no harm…”
Yah, memang sih. Tidak ada yang bisa disalahkan. Mungkin juga aku dan Linda yang terlalu keras dalam pendirian kami. Tapi itu semua, karena kami tidak ingin membuat repot orang lain.
Ia tidak menanggapi kali ini. Mungkin ia ingin membiarkan aku mengeluarkan semua yang kuanggap menjengkelkan. Mungkin juga sebenarnya ia tidak setuju dengan keluhanku. Whatever… Aku juga menceritakan bagaimana kurangnya privacy bagi kami berdua. Bisa jadi kalau hari ini tidak ada turis lain yang harus ia perhatikan, Michael pasti sudah ikut dengan kami. Bukan tidak mungkin ia yang akan menentukan kemana kami harus pergi.
“Well, I heard about him planning to go to Seoraksan with the two of you…,” cetusnya yang nyaris membuatku melepas kameraku. “But, he is still unsure about it…”
Aku menengok ke arah Linda dan yang lainnya. Mereka sudah berada kembali di dekat jembatan ketika kami masuk tadi. Ia tengah tertawa-tawa bersama mereka. Aku mengeluh dalam hati, bagaimana ya kalau dia sampai tahu mengenai Michael yang akan ikut dengan kami?
“You look worried what your friend might do when she finds out,” dengan tatapan menyelidik ia memperhatikanku. “Don’t tell me that you are afraid of her?”
Aku? Takut sama Linda? Sebenarnya yang aku takutkan adalah kalau Linda betul-betul meninggalkanku untuk kembali pulang terlebih dahulu. Sekarang aku bertambah khawatir karena melihat kekesalan Linda akan sikap Michael yang terlalu mengatur acara kami.
Kulihat yang lainnya melambai ke arah kami. Mungkin sudah tiba waktunya bagi kami untuk segera beranjak dan menuju tempat lain. Aku membetulkan letak tas ransel dipundak dan mulai beranjak. Aku jadi tidak betah berlama-lama dekat Lee Song-jin seorang diri. Ia selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat mengenai sasaran. Sehingga membuatku malas untuk menjawabnya. Lalu sesuatu terlintas di kepalaku.
“Are you coming with us to Seoraksan, tomorrow?”
Ia menghentikan sejenak langkahnya. Aku menoleh kebelakang dan memasang wajah sekosong mungkin. Padahal aku sendiri juga heran, kenapa aku jadi iseng banget melontarkan pertanyan itu.
“Would you like me to go with you?” ada nada heran dalam suaranya. Ia seperti tidak menyangka bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulutku.
“Well, unless you have something else to do… “ aku mengedikkan bahu, seolah ingin menegaskan kepadanya bahwa aku hanya sekedar berbasa basi. “I mean, tomorrow you are probably going back to work… Right?”
“I do have several things to be done in Sokcho… That’s where Seoraksan located…,” dia mengeluarkan PDA-nya seraya memberi keterangan padaku. “So, I am afraid we can not go together…”
Oh, begitu. Terus terang saja, aku ingin dia ikut karena kurasa dia bisa membantu kami mengatasi Michael dan sikap senioritasnya itu. Sekarang, kelihatannya aku dan Linda harus berjuang sendiri dalam menghadapi Michael.
“However,” ia melanjutkan sambil membiarkan aku berjalan lebih dahulu melewati jembatan untuk kembali menuju ke mobil. “I might be able to join you all after I have finished my business down there…”
Aku manggut-manggut. Dia pasti punya banyak pekerjaan yang ingin dia lakukan. Lagipula kenapa aku bisa-bisanya meminta dia untuk menemani kami jalan-jalan di Seoraksan?
Kami melanjutkan perjalanan hingga kembali ke pintu masuk dan bersiap menuju dimana kendaraan diparkir. Lee Song-jin membukakan pintu dan membiarkan aku masuk.
“Kamsahamnida,” aku berterimakasih. “And even if we won’t be able to meet later… I still wish to thank you for spending some times with us… I really do appreciate it…”
Ia bediri sejenak di depan pintu. Aku jadi salting sendiri. Apalagi nih yang diperhatikan? Biasanya orang memperhatikanku hanya untuk kemudian memberitahu kalau aku belum mengancingkan salah satu anak kancing atau sisiran rambutku yang kacau balau. Tapi tidak. Bukan itu yang hendak dikatakannya.
“You are welcome… And … I do have a bit of advice for you…, if you don’t mind listening…”
Ia diam sejenak sambil mengambil kacamatanya dan mengeluarkan saputangan untuk membersihkannya. Lalu pandangannya beralih lagi ke diriku.
“Just be yourself, Sandy… Don’t worry too much… Don’t do things that you dislike just to make everyone happy… There is no such things as perfectness in this world. Just let things goes on as they are supposed to be… Remember that…”
================
nyari sebelumnya di :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H