Lihat ke Halaman Asli

Korea Love Story Bab VIIIa

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dear all...

Gue lanjutin setengah aja ya Bab 8 nya..... besok kita sambung lagi sisanya ^_^

Happy reading :)

===================================================

Topik pertama yang kami bicarakan ketika bangun pagi itu adalah keanehan Michael yang tidak pernah mengenalkan kami pada keluarganya. Aneh saja raanya karena disuratnya ia sering bercerita tentang mereka. Kami berdua juga merasa heran karena sang pemilik rumah tidak pernah terlihat… Pembicaraan kami terhenti ketika mendengar panggilan Michael bahwa Lee Song-jin telah menunggu kami dibawah. Kamipun bergegas mengambil barang-barang kami dan keluar dari kamar.

Sesampainya di bawah, kulihat Lee Song-jin sudah bersender di sebuah mobil KIA SUV. Ia nampak terlihat santai dengan kaos putih dan celana jeans. Kemudian kulihat juga Lim Young-eun dan Park Sang-min yang melambaikan tangan dari mobil. Wah, mereka beneran ikut…

“Anyeonghaseyo… “ dengan ceria Lim Young-eun menyapa kami.

Kami membalas sapaannya. Lalu kudengar Michael berkata bahwa ia tidak bisa pergi dengan kami hari ini. Ia harus menemani turis lain yang saat ini juga tengah menginap di Guest House tersebut. Aku dan Linda nyaris tidak bisa menyembunyikan kegirangan kami mendengar ucapannya. Yess!

But I will be able to join you tonight…,” tambah Michael. “I will take you to taste our night life…”

Ya ampun, bukannya keliling dari tempat makan dan minum hingga beberapa tempat sudah cukup tadi malam? Tapi, yah setidaknya siang ini kami terbebas dari dirinya. Dan setelah berbasa basi dan pamitan dengan Michael, kami berdua pun segera memasuki mobil. Busan, here we goes!

Mobil membawa kami memasuki pusat kota. Dengan penuh semangat Park Sang-min meminta Lee Song-jin untuk mengarahkan mobil ke arah pantai dimana hotel-hotel seperti Westin Chosun, Marriott, berkumpul di area ini. Ah, pantai… Apa nanti kita akan kesana? Karena mobil tidak berhenti disana melainkan melanjutkan perjalanannya ke daerah pegunungan. Di kiri kami berjejer pohon-pohon cemara. Daunnya masih belum menguning juga… Hiks… (Astaga, omel Linda ketika didengarnya aku mengeluh untuk keseribu kalinya. Ngebet amat sih dengan daun-daun yang berubah warna jadi kuning?). Sementara disebelah kanan kami terlihat pemandangan birunya air laut yang terlihat berkilauan ditimpa cahaya matahari. Lee Song-Jin juga memberi tahu kami bahwa jika sedang musim semi kita bisa menyaksikan indahnya bunga-bunga Cherry yang sedang berkembang. Ih, jadi penasaran…

Over there… Haewol Pavilion… ,” mobil berhenti di dekat sebuah paviliun kuno. “The weather is clear today… Hopefully we could see a bit of Japan from there…” Park Sang-min lalu mengajak kami semua keluar. Sebelum naik ke paviliun tersebut, aku memperhatikan papan yang bertuliskan “Dalmaji (Moon-Viewing) Road”. Hmm, Moon Viewing?

Dal actually means moon and Maji means rising,” Lee Song-jin membantu menerangkan.”This area …” ia kemudian menunjuk di sekitar kami,” Dalmaji Hill … is famous for watching the moon rising on the lunar year’s first full moon day . Along with it, we have traditional ceremonies too

Park Sang-min dan Lee Song-jin lalu bersama menceritakan tentang perayaan tradisonal tersebut. Acaranya meliputi suguhan tarian dan musik, menerbangkan layang-layang hingga upacara memanjatkan doa di laut. Biasanya orang-orang akan membawa suguhan berupa kue dari beras dan buah-buahan. Lim Young-eun memberi kode dengan jempolnya bahwa kue dari beras itu rasanya enak sekali.

Wah, Linda pasti kecewa karena tidak dapat melihat perayaan tersebut. Bisa kulihat di wajahnya saat ini. Ia selalu senang mempelajari kebudayaan penduduk setempat jika sedang pergi melancong ke suatu negara. Khususnya dalam hal kesenian. Sementara aku lebih tertarik memperhatikan kehidupan sosial mereka.

There are many cafes and restaurants around here as well…” Lee Song-jin menambahkan informasi, “Loaded with couples, mostly… Enjoying romantic night together…

How lovely,” desah Linda dengan wajah yang penuh khayalan banget (dan membuatku ingin menimpuknya dengan kamera yang tengah kupegang).

“Ternyata di Busan banyak tempat yang bagus juga ya?” aku berkomentar pada Linda, berusaha membuyarkan lamunannya.

“Iya, padahal selama ini Busan hanya dijadikan tempat persinggahan turis yang ingin melanjutkan perjalanan mereka ke Jepang…” Linda tersenyum menatapku. “Aku ngaku salah deh… Kupikir tidak ada yang menarik disini…”

Kami tertawa bersama. Selanjutnya kami berdua mulai berkonsentrasi mengambil foto-foto dari berbagai sudut pavilion tersebut.

“Lin, ayo bantu aku nih… Ambil fotoku disebelah sini dan… sini…,” lalu dengan tatapan mata yang lapar (istilah Linda mengenai kegila’an diriku jika hendak difoto) aku menunjuk ke arah lain. “Dan juga yang dekat papan bertulisan nama vila ini…”

Linda mengernyit kearahku. Ia mulai menceramahiku panjang lebar mengenai estetika sebuah gambar yang sebaiknya diambil tanpa ada embel-embel diriku dan lain sebagainya. Ketika dilihatnya aku tetap berdiri dengan pandangan menunggu ia menepuk dahinya dan dengan kesal mengambil kameraku.

“Udah ah…,” gerutunya ketika sudah selesai. “Kamu bener-bener deh kagak bisa melihat sudut mana yang bagus untuk difoto dengan dirimu atau tidak…”

Setelah sekitar setengah jam berada disana, mereka mengajak kami untuk beranjak dari paviliyun tersebut. Linda nampak luar biasa lega. Ia nampak cemas kalau-kalau aku merengek lagi untuk minta di foto si sudut jalan.

Mobil kembali meluncur. Melewati kafe-kafe yang bertebaran di pinggir jalan. Belum lagi restoran yang di cat dengan warna-warna mencolok untuk menarik perhatian. Sayup-sayup aku mendengar Linda bertanya, akan kemanakah kami semua saat ini.

We are going to Haedong Yonggungsa right now,” Lee Song-jin menjawab sambil memutar kemudinya dan memasuki sebuah areal parkiran yang luas. Di tempat itu sudah banyak terdapat mobil-mobil lain. Ia lalu mencari tempat yang untuk memarkir mobil.

Usually temple located around the mountain,” Park Sang-min melanjutkan. “But this temple also located near the sea. The view is magnifecent. Come on…”

Kami berlima segera melangkah memasuki kuil Haedong Yonggung bersama-sama dengan para pengunjung lain. Satu perbendaharaan kata-kata lagi. Sa berarti kuil.

Most people come here to pray in order to have at least one of their wishes comes true…” dengan antusias Linda mendengarkan penjelasan Lee Song-jin. “This temple is one of 3 Sacred Places related to the Goddess Buddha. It is in harmony with the sea, the dragon and the Great Goddess Buddha.

“Wah, coba lihat tuh…!” Linda tiba-tiba berseru. Di depan pintu masuknya, nampak berjejer patung-patung binatang yang melambangkan keduabelas shio.

Which one is yours?” tanya Lee Song-jin kepada kami berdua.

Aku dan Linda langsung berlari ke arah patung Tikus. Yup, itulah shio kami berdua. Dengan tertawa-tawa kami langsung mengambil foto masing-masing di patung tersebut.

You both don’t act as if you are thirty,” ia menggelengkan kepala sambil menawarkan bantuan untuk mengambil foto kami berdua di depan patung-patung itu.

Come on… You have not seen what is inside this temple… ,” seru Park Sang-min dari kejauhan. Sementara Lim Young-eun nampak berjalan terlebih dahulu. Mungkin ia ingin memanjatkan doa disana.

Sebelum lebih masuk ke dalam area kuil itu, kami menyempatkan diri untuk berfoto bersama di dekat patung Buddha yang besar; yang mengenakan topi tradisional rakyat Korea. Selanjutnya mereka mengajak kami menuruni anak tangga memasuki area kuil tersebut. Di kanan kiri tangga tersebut terdapat tempat-tempat seperti pagoda mini untuk meletakkan lilin. Kebayang nggak sih, kalau malam-malam kesini dan sepanjang kita berjalan hanya diterangi oleh ratusan lilin dan puluhan lampion yang bertebaran diatas kita? Lee Song-jin memberi tahuku bahwa pemandangan seperti itu yang akan kami lihat jika kami datang saat perayaan ulang tahun Sang Buddha. Kapan itu? Ternyata di bulan April. Kalau mendengar penjelasannya, rasanya musim semi juga tidak boleh dilewatkan. Dengan catatan, kalau punya dana cukup untuk ke Korea lagi. Hehehehe…

Ia mengajak kami melewati jembatan sebelum akhirnya sampai di kuil tersebut. Waw…, kuil ini seperti bersatu dengan batu-batu karang yang berderet mengelilinginya. Dihalaman kuil ini, kita bisa melihat bagaimana deburan ombak perlahan menghantam karang-karang tersebut. Buih-buihnya yang putih terlihat kontras dengan birunya laut. Aku menghirup udara air laut yang dibawa oleh semilirnya angin. Agak diatas, aku melihat patung Goddess Buddha. Mungkin ini yang diceritakan oleh Lee Song-jin tadi.

Spontan aku dan Linda langsung mengeluarkan kamera kami masing-masing. Tapi kali ini Linda rupanya memutuskan untuk menjauh sejenak dariku. Aku baru menyadari hal tersebut tatkala hendak meminta bantuannya mengambil foto diriku lagi. Dan orang yang terlihat paling dekat dengan tempatku berdiri saat ini hanya Lee Song-jin.

Aku merandek. Apa bisa kuminta bantuannya? Ia sudah kembali lagi ke dirinya yang semula. Angkuh. Dan terlihat sangat jauh untuk diraih. Ia berdiri di dekat pagar yang membatasi halaman kuil tersebut. Pandangannya jauh ke depan… seolah-olah laut tersebut dapat menampung sesuatu yang ingin dibuangnya dari pikirannya.

You want me to take your picture?” aku terlalu sibuk mencari-cari orang yang kira-kira bisa diminta bantuan hingga tidak menyadari kalau ia sudah berdiri dibelakangku. Aku mengiyakan dengan penuh semangat seraya menyerahkan kameraku kepadanya. Namun, ia tidak langsung mengambilnya. Melainkan ia hanya memberiku tatapan mencela.

Are you sure? There is a chance that you will ruin the picture …”

Yeah…, kok kata-katanya mirip banget sama yang dibilang Linda. Apa memang aku saja kali yang mengidap penyakit Narcissme ya? Karena kok rasanya sayang banget ada pemandangan bagus dan tidak ada aku didalam pemandangan itu… Dengan gusar aku menggumam bahwa aku minta maaf telah merepotkannya. Dan langsung memutar badanku kearah lain. Tapi siapa yang bisa kuminta bantuan disini?

I am not saying that you are tacky… ,” rupanya ia tetap mengikuti dari belakang. “Though sometimes I do think you ARE… a bit,when it comes to takes pictures…”

Huh! Aku membuang muka dengan kesal. Masa iya sih aku senorak itu? Kudengar suaranya memintaku untuk memberikan kamera tersebut. Dengan agak heran, aku memberikannya padanya sambil bertanya-tanya dalam hati. Apa yang ingin ia lakukan dengan kamera tersebut?

Ia mengarahkan ke arah Park Sang-min, Linda dan Lim Young-eun yang tengah berdiri didepan patung sang Dewi tersebut. Ia lalu memanggilku dan meminta untuk melihat dari lensa kamera tersebut. Aku menurutinya dan bertanya apa yang ia ingin katakan….(BERSAMBUNG)

==========================

Yang sebelumnya di:

Korea Love Story bab VII

Korea Love Story bab VI

Korea Love Story Bab V

Korea Love Story Bab IV

Korea Love Story Bab III

Korea Love Story Bab II

Korea Love Story Bab I

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline