Lihat ke Halaman Asli

Korea Love Story bab VII

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hi all...

Ini gue posting lanjutannya Korea Love Story ya... Sebenarnya sih cerita ini udah lama gue bikin.... Tapi sudah sukses mengendap di rumah selama 5 tahun.... Hehehe...  Sorry kalau masih banyak kekurangannya and thanks for keep on reading ^_^

=====================================================================================melanjutkan

Kami pun melanjutkan perjalanan. Wah, banyak orang berjualan cemilan di kereta – kereta dorong. Apa kira-kira isinya ya? Ada yang bentuknya kayak sate begitu… Kayaknya sih isinya susis ikan… Nah, yang lainnya ada jualan pernak pernik cewek nih… Ada cincin… kalung segala… Erh, buat orang apa buat hewan peliharaan ya?Jadi rada – rada bingung nih… Soalnya orang-orang disini memperlakukan hewan kesayangannya seperti manusia sih. Dan astaga naga, ada yang warna rambutnya dibuat mirip dengan si empunya.

Sementara itu Michael sudah memulai penjelasannya mengenai PIFF Square ini. Menurut Michael, letak bioskop yang berdekatan dalam jumlah yang cukup banyak (mungkin ada sekitar 5 atau 6 bioskop); menjadikan tempat ini area yang cocok untuk menggelar acara festival film tahunan seperti PIFF.

Here it is PIFF SQUARE…! Look down here… “ ia lalu menunjuk ke ubin yang ada di dekat kami. “Every year the winners of the festival contribute copper plates. On it they imprinted their hands and foodprints..

Tidak jauh dari tempat kami berdiri, ada panggung besar dengan spanduk-spanduk bertuliskan Pusan International Film Festifal. Panggung itu sudah ramai dikerubuti oleh para ABG untuk berfoto bersama.

Take a picture? I will help…,” Lim Young-eun langsung menawarkan bantuan. Aku mengangsurkan kameraku ke Lim Young-eun dan langsung menarik lengan Linda. Mulanya ia menolak. Tapi, akhirnya ia pun tersenyum juga ke arah kamera sambil memelukku. Lim Young-eun mengembalikan kamera tersebut padaku dan mengajak kami berdua mengikuti Michael dan Lee Song-jin. Dengan enggan, kami berduapun beranjak dari tempat itu.

“Jadi berasa kayak ikut tour…,” gerutu Linda. Saat itu ia tengah memperhatikan kios-kios kecil yang menjual berbagai pernak pernik handphone yang lucu. Terpaksa kali ini kami hanya bisa melewatkannya saja. Michael membawa kami ke jalan yang mana sejauh mata memandang terdapat banyak rumah makan tenda. Yang dijual umumnya makanan laut. Kami berdua terperangah ketika Michael mengajak kami ke salah satu tempat makan tersebut.

“Apa kubilang. Makan lagi khan?” bisik Linda. “Dan berani taruhan, pasti dia tidak mau lagi kalau kita ingin membayar…”

Kayaknya feeling-nya Linda bener banget ya tentang Michael; dengan terpaksa aku mengakui. Sambil duduk diam, aku mengamati para pengunjung lain yang kebanyakan kaum pria. Sambil menikmati makanan, botol-botol minuman itu sudah mulai bertumpuk di atas meja.

Kali ini makanan yang dipesan Michael semuanya seafood. Ada cumi, udang, kepiting, kerang… Diatas meja kami terdapat kompor gas untuk memanggang makanan. Dengan tangkas, Lim Young-eun mulai memilah-milah makanan dan meletakkannya diatas wadah yang disediakan untuk dibakar… Mereka juga menyediakan wasabi.

Tiba – tiba Michael bertanya,“ Both of you, ever tried to eat live octopus?”

Dengan terperanjat kami berdua memandanginya. Ia hanya tertawa dan tangannya menunjuk ke arah sebuat akuarium yang ada didekat kami. Glek. Kami menatap gurita-gurita kecil itu yang sepertinya menatap balik kearah kami. Hih… Mendadak aku teringat akan apa yang pernah kubaca di salah satu buku travelling itu. Karena dimakan hidup-hidup, tentakelnya bisa menempel kuat di gigi jika tidak buru-buru dikunyah. Yuck… Tanpa basa basi lagi kami berdua langsung menggelengkan kepala.

Are you sure? This is one of our famous food here. You will regret it if you do not have a try” dia masih berusaha memaksa.

No, thanks …,” Linda menolak; kali ini dengan nada tegas. “Besides, we will not waste these tasty seafood over here… Lim Young-eun have gone so much trouble to cook them for us…” Linda mengeluarkan senyuman manisnya ke Lim Young-eun,” Thank you. You should not have… Come on… You must eat too…”

Namun Michael tetap memesan makanan tersebut. Huh! Kenapa sih dia tidak belajar toleransi sedikit dengan orang lain? Ketika hidangan itu tiba, dengan ngeri aku memandangi bagaimana potongan dari badan gurita yang telah dicincang ketika masih hidup itu bergerak-gerak...

Sure you do not want this?” Michael masih berusaha menawarkan sekali lagi. “Ah, you two have lack of adventurer spirit... You will never know how good it is...”

Ketika dilihatnya kami masih berdiam diri, ia memulai lagi,”When I visited Malaysia a year ago, I eat everything that they offered me. Because I respect them, as a host…”

“Hyeong...,” terdengar suara Lee Song-jin menegur. Michael menatap kami. Akhirnya setelah sadar, bahwa kami tetap berkeras untuk tidak ikut makan, Michael mulai memakan sendiri hidangan tersebut.

Usai menghabiskan makanannya, Michael berdiri dari kursinya dan menghampiri sang pemilik tempat makanan. Dan seperti ada magnet, Linda juga hendak berdiri. Namun, Lee Song-jin kali ini yang mencegahnya.

Linda, there will be time when you will be asked to share the payment. But not today. You will offend him. This is our custom. So, do not worry

You will have to forgive me…” setelah kembali duduk, Linda memulai penjelasannya. “In Indonesia this is not our custom. We usually go dutch! So, we do not owe anyone anything…

But you are our guest,” bantah Lee Song-jin. “We are honoured to to give you treats

We do that too in Indonesia,” aku ikut menimpali. “But not so many times likeMichael (aku masih bingung apakah aku harus memanggilnya Oppa atau Hyeong ke Michael ya?) did. It made us feel like we are freeloaders or something…”

Come on…,” ajak Michael, menyela pembicaraan yang tengah berlangsung. “I still have one more place for you to see…”

“Mudah-mudahan bukan tempat makan lagi,” kali ini kami mengucapkan kalimat yang sama sambil berupaya menyusul Michael yang akan membawa kami entah kemana sekarang. Sekali lagi kami melewati toko-toko dekat jalan besar yang bisa dilalui oleh mobil, kemudian masuk ke jalan yang lebih kecil. Deretan panjang kedai minuman yang diselingi dengan kios-kios yang seperti dibangun dari bambu yang kemudian di cat dengan warna coklat. Meja-mejanya pendek dan pengunjungnya duduk berlesehan di lantai. Bahkan kulihat sudah ada yang tergeletak. Pasti sudah terlalu banyak yang diminumnya. Apa tiap hari mereka seperti ini?

Lalu kusadari Michael sudah berhenti di depan sebuah kedai minuman. Ia mengajak kami memasukinya dan langsung menuju ke lantai dua. Didalam kedai tersebut, telah menunggu seorang pria bertubuh tidak kalah tinggi dengan Lee Song-jin yang merupakan kenalan Michael. Ia mengajak Michael dan kami semua duduk disalah satu meja tersebut hingga kami bisa merasakan semilir angin malam.

Let me introduce you to … ,” Michael memperkenalkan kami pada pria itu. Kami saling bersalaman dan menyebutkan nama masing-masing. Ia kelihatannya tidak menangkap jelas. Dan terus terang saja demikian pula dengan kami berdua. Akhirnya kami saling bertukar kartu nama. Aku membaca nama di kartu itu, Park Sang-min. Hmmm, kenapa sih mereka tidak punya nama barat seperti Michael supaya aku tidak perlu memanggil mereka semua dengan nama lengkap?

You could call him dongsaeng since he is younger than the two of you,” Michael tertawa melihat kecanggungan kami. “He is also another friend of mine. As a matter of fact, he and Lim Young-eun here are lover…”

No, I am not… ,” ia membantah sambil tertawa. Wajahnya yang lebar itu jadi semakin terlihat bulat.“Me and her… Ch’in-gu… Friend. That’s all…

Ia lalu mempersilahkan kami untuk duduk bersama sementara ia menghampiri meja kasir untuk memesan. Nah loh, akan disuguhi apalagi kali ini? Tidak menunggu waktu lama sebelum pelayan datang membawa sesuatu. Aku menatap dengan curiga ke arah claypot yang dibawanya. Tepat dugaanku. Ternyata isinya arak lagi… Tanpa banyak bicara, Michael menuangkan ke dalam mangkuk-mangkuk yang tersedia untukku dan Linda.

Makgeoli… one of our traditional rice wines,” lalu ia menambahkan. “It taste good. Go on… Try it…

Hmm, yang ini rasanya manis… Uh-oh, sebaiknya aku mengontrol diriku. Jangan sampai karena rasanya enak, lalu aku kebablasan.

Kemudian pelayan itu datang lagi. Ia membawa sejumlah piring yang berisi kacang. Dan satu piring besar isinya seperti apa tuh? Pizza ya? Eh, tapi mana mungkin sih? Coba kutanya Linda, dia pasti tahu…

“Kamu pasti suka,”celetuknya. “Ini namanya Pajeon. Lihat deh seafood-nya didadar di atas daun bawang… Tuh lihat, ada udang, cumi…”

“Aduuuh,” aku mengeluh setelah mengunyah gigitan pertama. “Rasanya enak banget… tapi aku sudah kekenyangan…” Bahkan untuk orang yang sebesar akupun, ada batasan ruangan di dalam usus.

Perhatian Linda terpecah oleh pertanyaan Park Sang-min. Ia segera beralih kepadanya. Sementara Michael terdengar berbicara pada Lim Yong-eun. Aku tengah berusaha memakan potongan kedua ketika mataku tertumbuk pada Lee Song-jin yang tengah memperhatikanku.

The two of you, seems like a strange couple…,” cetusnya padaku sambil mereguk minumannya.

Ketika dilihatnya aku hanya memberikan pandangan bertanya, ia pun melanjutkan,” Oh… well,” ia mengangkat bahunya sambil memasang muka berpikir,” You two seems have different interest… Different personality as well… Do you work together? Was that how you both become friends?”

Bicaranya banyak sekali…apa dia sudah mulai kebanyakan minum? Seperti tahu apa yang ada dalam pikiranku ia langsung melanjutkan,” I am not drunk… If that is what you are thinking at this moment…

Wow…, “ aku memasang muka terkejut. “You read my mind very well… Sorry… I did not mean to be rude. But previously you are so obnoxious… if you do not mind me say so…And now…”

Ia terperangah sejenak. Lalu dengan tersenyum masam ia mengangkat tangannya,” I am not offended “Sambil mengangkat mangkuk tersebut ia menoleh kearahku lagi,” People here like to drink because by being drunk, you are letting out the real you. However… ,” ia menenggaknya sebelum melanjutkan. “ I suppose you do not need to be drunk to be honest. It is all written on your face… “

Sekarang aku yang tercengang. Sebegitu terlihatnyakah apa yang ada didalam pikiranku?

Dengan menyeringai untuk yang pertama kalinya, ia melanjutkan,” When you like the food, you ate it as if that is the best food in the world… exactly like you are doing right now…”

Heh? Masa sih…? Potongan Pajeon itu serasa membeku di udara. Aku meletakkannya kembali di piringku dengan keki. Bilang aja kalau mau menyebut aku rakus…

And you are not used to drink, aren’t you? I saw that when we were at the tent

Aku mengiyakan saja hal tersebut.

I did not like to drink much,” dahinya berkerut sedikit. Aku memandanginya agak lama. Setengah tidak percaya. Dia melanjutkan, “It makes me dizzy. However, through drinking together with customer is another way to settle most of my business…

Aku mengangguk – angguk. Lalu aku mulai bercerita awal persahabatanku dengan Linda. Bahwa kami mempunyai teman yang sama. Dan perasaan senasib menjadi orang baru dalam suatu perusahaan yang mendekatkan kami berdua.

How about you andMichael hyeong? How did you two know each other?” sekarang gantian aku yang bertanya.

I used to live here… before my family moved to Seoul. He is my senior in high school…” dia menjawab sambil melirik ke arah Michael. Yang dilirik malah tertidur di meja. Oh, pantas kayaknya kudengar suara Lim Young-eun berpindah ke dekat Park Sang-min. Michael ini benar-benar tidak sopan sama sekali. Yang jadi tuan rumah ini khan ceritanya dia? Kenapa jadi teman-temannya yang diumpankan untuk meladeni kami?

When did you first learn about our country?” ia kembali bertanya balik sambil memajukan badannya ke tengah meja. Tangannya bertumpu disana.

Hmmm, if you really want to know… actually from the TV news …, long time ago…,” sambil aku berusaha mengingat-ingat beritanya, tanpa sadar aku mereguk minuman sekali lagi. “I think it was around the 80’s or something. There was this big demonstration… And one of them burnt himself… “ Dengan bergidik aku melanjutkan,” Your students movement were a bit scary to me… at that time…”

Ia menatap lama kearahku. Huh, mungkin dia nggak menyangka ya kalau aku menonton warta berita?

You still remember that news? My, even I almost forgot about that moment…” Lalu pandangannya seperti menerawang sejenak. Mungkin ia tengah mengingat masa-masa itu juga.

And of course…fromthose badminton’s tournaments… Like Thomas Cup, Uber Cup…” aku menyambung lagi…

Wajahnya langsung berbinar-binar. Kesan angkuh yang tadi begitu menyatu dengan dirinya, seperti tersapu bersih dari nada suaranya yang antusias akan topik ini. Beberapa menit kemudian pembicaraan kami hanya seputar bulutangkis.

“I think we have to start from all over again…,” cetusnya setelah menghabiskan minumannya. Pancaran matanya berbeda ketika pertama kali bertemu dengan kami. Ia tersenyum sambil menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak ada gatal-gatalnya. “I am sorry. I don’t think I catch your name earlier…”

Reseh. Seberapa susah sih namaku dan Linda dibanding dengan nama mereka? Aku lalu mengambil kartu namaku dan memberikannya padanya. Ia memandanginya sejenak dan menatapku,”Sandy. Hmmm, it is not as hard as I think…”

Aku hanya mencibir kearahnya. Ia mengambil sesuatu dari dompetnya dan memberikan padaku kartu namanya pula. Aku membacanya sepintas. Bener juga kata Linda. Dia punya perusahaan sendiri di bidang travelling. Pantas lagaknya sombong sekali. Dan pakaiannya itu… astaga… Resmi buanget. Kemeja, berdasi lengkap dengan jas segala.

So, can you spell my name?” ia terlihat ingin tahu.

Aku membaca kartu yang bertuliskan huruf-huruf yang kukenal. “Here… Lee Song-jin… Or should I call you hyeong as well since you are older?”

Dia menatapku agak heran. Aku memberitahunya tentang percakapanku dengan Michael. Bahwa Michael yang meminta kami untuk memanggilnya demikian. Dia menoleh ke arah Michael dengan wajah yang bertanya-tanya. Kayaknya ada yang salah nih… Apa memang yang bener itu seharusnya oppa? Kenapa diantara mereka saja bisa korslet begini?

No, you don’t have to,” ia menoleh lagi kearahku. “However… erhm…, as we barely known each other, usually you should call me like Lee Song-jin ssi… ”

Ahah, nambah ilmu baru nih dikit. Baru sekarang aku paham kenapa aku tidak pernah sukses menangkap ucapan mereka setiap kali menyebutkan nama. Selalu ada embel-embel sesuatu. Kalau dibelakangnya huruf mati seperti Lee Song-jin ini, pasti dipanggil seperti ini: Song-jina… Lalu kalau aku… masa jadi Sandiya sih?

Mendadak aku menutup mulut untuk menguap. Lee Song-jin mendadak mengeluarkan lagi senyumnya yang jarang terlihat itu.

Well, it is late… ,” ia lalu berkata pada teman – temannya. “I am sure these women are tired already. I think we should call the night off…”

Tumben kali ini ini Michael mengiyakan bahkan menyetujui usul berikut dari Lee Song-jin untuk membiarkan kami membayar hidangan kali ini.

“Ayo keluar saja,” aku menggamit lengan Linda sambil memaksa diriku berdiri. “Kita tunggu saja dia diluar… Aku jadi gerah didalam disini…”

Aku membungkukkan badan ke arah Lee Song-jin dan menganggukkan kepala ke arah Park Sang-min dan Lim Young-eun sambil memasang wajah tersenyum. Linda juga melakukan hal yang sama. Selanjutnya segera menuju pintu keluar. Masih berusaha tersenyum, kami berpamitan kepada si pemilik kedai usai melakukan pembayaran. (Astaga naga! Mahal sekali… Benar juga kata Linda. Kalau terus-terusan seperti ini, uang kami bisa habis di makanan!)

I will take Lim Young-eun home. ..,” Park Sang-min membuka pembicaraan. “I suppose I will see you both again tomorrow?”

So, you are coming with us?” Linda membalikkan badannya dan menunggu hingga Park Sang-min berada di dekatnya.

Yes, I think both Lim Young-eun and I will join with you all… “ Park Sang-min mengangguk sambil tersenyum ke arah Lim Young-eun dan kami berdua.

But where isMichael hyeong, by the way?” tidak enak juga sih nggak ditanya. Padahal, asli kali ini aku hanya berbasa basi.

Ternyata yang ditanya baru saja turun. Aku dan Linda langsung menghindarinya dengan berpura-pura mengobrol. Sementara itu, mereka saling berbicara sejenak. Lalu mereka mengajak kami menyusuri jalan lagi. Untuk jalan disini, aku menyerah deh kalau disuruh jalan sendiri. Bisa dipastikan aku akan nyasar entah kemana. Tempat ini seperti labirin… benar-benar membingungkan… Kami berjalan lurus, menemui perempatan, berbelok lagi, jalan lurus lagi hingga akhirnya menemukan jalan raya. Sepanjang perjalanan itu; yang kami temui adalah segerombolan orang mabuk. Mereka sudah tidak bisa lagi berjalan lurus kedepan. Untung saja trotoarnya lebar. Kalau tidak mereka semua pasti sudah disambar oleh mobil yang lewat. Hhhh, pada jam-jam begini…, mungkin hanya supir taksi dan polisi saja yang tidak mabuk, ya?

Wah, apapun yang terjadi sebelumnya…aku baru sadar kalau ini malam kami pertama di Korea! Merasakan apa yang dilakukan penduduk setempat… Melihat langsung apa yang biasanya hanya terlihat di televisi. Legaaa rasanya akhirnya sampai di Guest House kembali. Kami melambaikan tangan pada Lee Seong-jin yang meneruskan perjalanannya dengan taksi. Besok, adalah hari untuk jalan-jalan!

Yang sebelumnya bisa di lihat di :

Korea Love Story bab VI

Korea Love Story Bab V

Korea Love Story Bab IV

Korea Love Story Bab III

Korea Love Story Bab II

Korea Love Story Bab I




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline