Lihat ke Halaman Asli

Korea Love Story Chapter 4

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Area kedatangan untuk penerbangan domestik di Bandara Gimhae ini terletak di lantai dasar dari 3 lantai yang ada. Sehingga tidak butuh waktu yang lama untuk sampai di lobi utama. Di lobi utama itu nampak spanduk-spanduk besar bertuliskan PIFF atau Pusan International Film Festival. Meja panitia nampak terlihat berada di antara pintu masuk dan pintu keluar dan kesanalah kami berjalan. Kami masing-masing mendapat satu buku panduan acara. Didalamnya ada keterangan mengenai judul-judul film yang ikut dalam festival ini. Sekilas aku melihat ada dua film Indonesia yang ikut serta. Yang jadi perhatianku, tentu saja jadwal film Scandal yang akan diputar hari Minggu besok. Tanya punya tanya, akhirnya kami mendapatkan informasi yang mengecewakan. Tiketnya sudah SOLD OUT! Waduh… Benar juga ya. Pemutaran disaat acara khusus seperti ini… Kenapa tidak terpikirkan untuk mencoba beli sendiri?

“Sudahlah,” tegur Linda. “Nanti kita iseng aja melihat di bioskop lain. Resikonya ya paling nggak ada teks… Nggak nonton juga tidak apa-apalah”

Yah, bener juga sih. Huh, padahal moment-nya sudah pas banget. Sambil menahan rasa kecewa, aku mengajaknya keluar untuk mencari taksi.

“Eh? Udara disini tidak sedingin di Seoul ya?” aku berseru dengan gembira begitu kami menginjakkan kaki diluar lobi.

“Yah, kalau dilihat dari letaknya di peta, Busan letaknya agak dibawah khan? Mungkin hal ini membuat mereka lebih lambat memasuki musim gugur. Eh, itu tuh antrian taksinya!” ia berseru sambil melambaikan tangan ke arah taksi tersebut.

Aku berharap-harap dalam hati, mudah-mudahan kami tidak jebol di ongkos. Baru hari pertama nih. Kalau menurut yang aku baca di buku travel, tarif taksi berdasarkan waktu dan tentu saja jarak yang ditempuh. Ada kenaikan tarif 20% jika kami menggunakan taksi antara tengah malam hingga jam 4 pagi.

Supir taksi yang kami dapatkan memperkenalkan dirinya sebagai Mr. Lee. Dengan sigap, bapak ini langsung membantu kami mengurus koper-koper kami. Akupun memberikan alamat guest house yang telah di kirimkan Michael padaku. Alamatnya tersedia dalam tulisan dua bahasa sehingga aku tidak terlalu khawatir kami akan tersesat. Sebagai balasannya ia memberikan kartu namanya pada kami. Dalam kartu nama itu tertulis nama bapak tersebut, alamat pribadi serta nomor telepon dan HP yang bisa dihubungi. Ia mempersilahkan kami menaiki taksinya. Ternyata usia boleh lanjut, namun bapak tersebut ngebut sepanjang perjalanan. Padahal rasanya kami tidak bilang mau buru – buru…

Where you come from?” aku terkejut ketika melihatnya membelakangi kemudi ketika bertanya pada kami. Erh, apa dia tidak sebaiknya tetap melihat kedepan ya?

Indonesia?” ulangnya sambil menengok lagi kearah kami. “Just the two of you? Not with your husbands?”

Mau tidak mau kami jadi tersenyum. Cara beliau bertanya yang ramah menjadikan pertanyaan yang super sensitive itu menjadi biasa-biasa saja. Ia juga memperlihatkan foto-foto keluarganya, ketika ia masih bertugas di angkatan laut dan juga rumahnya.

When you have time, come to my house,” senyumnya tetap mengembang di wajahnya. “We can drink and eat together, okay?”

Kami mengucapkan terimakasih. Selalu menyenangkan jika kita bertemu dengan orang yang ramah.

And now…, I will let you enjoy the view…,” ia lalu menunjuk keluar jendela. “Beautiful, right?”

“Tentu saja. Sudah dekat dengan laut, diapit dengan pegunungan, banyak bukit-bukit pula …,” tangan Linda menunjuk ke suatu arah. “Coba kamu lihat deh sebelah sana… Rumah-rumah penduduk itu seperti diukir di badan gunung itu ya? Kalau dari jauh begini, mengingatkan aku akan Yunani…”

Di hadapan kami samar-samar terlihat lagi pegunungan. Mungkin ini yang dikatakan oleh Michael adalah Gunung Bae. Katanya hanya dengan jalan kaki selama setengah jam kami sudah bisa sampai di gunung tersebut. Lalu aku kembali mengalihkan perhatian ke jalan. Kami masih tetap berada di jalan besar, tapi sekarang lebih banyak perumahan dan sekolah yang terlihat. Trotoarnya lebar-lebar sehingga memudahkan orang untuk berjalan-jalan dengan tenang. Taksi yang kami naiki perlahan memperlambat kecepatannya. Berarti sudah mau sampai. Tapi, yang mana guest-house-nya?

“Eh, Ndy… ,” seru Linda sambil menunjuk ke sebelah kiri jalan. “Itu … lihat … di dekat mini market itu ada telepon umum. Coba kamu hubungi lagi Michael. Aku akan minta bapak ini untuk menunggu kita”

Taksi pun berhenti di seberang mini market tersebut. Aku bergegas keluar dan menyeberangi jalan menghampiri telepon umum tersebut. Bisa kurasakan debaran jantungku karena panik. Hiyaaa, kok aku jadi was-was begini…?

“Yoboseyo…”

Hello, may I speak with Mr Michael Han, please?”

Tidak bisa kukatakan betapa leganya aku mendengar ia langsung menjawab. Kuterangkan sebisa mungkin mengenai tempat dimana taksi kami berhenti. Diseberang kami ada toko yang kebetulan banget memasang poster gambar film “Friends”-nya Jang Dong-gun.

Really? Well, please wait. I will be with you in a moment” lalu ia menutup telepon.

Aku berbalik ke arah taksi dan memberi kode untuk menunggu. Dan beberapa menit kemudian, nampak seraut wajah yang kukenal dari foto yang pernah dikirimkannya. Aku tahu itu Michael dari foto yang sudah ia kirimkan. Tubuhnya kurus tinggi dan kacamata yang tebal bertengger di hidungnya yang lancip. Mukanya nampak cekung seperti orang yang kelelahan.

Sandy?” dia langsung menghampiriku. Aku mengangguk dan menyambut uluran tangannya untuk bersalaman. “Where is your friend, Linda?”

Aku menunjuk ke arah taksi. Begitu senangnya aku bahwa kami sudah sampai ditempat tujuan dan tidak nyasar. Linda mengangsurkan ongkos taksi beserta tipsnya. Kami agak terkejut ketika bapak itu menolaknya. Ia mengangsurkan kembali uang tersebut ke tangan Linda. Lalu ia menepuk-nepuk pundak kami satu persatu. Tak lama kemudian, beliau pun berlalu.

Michael lalu meminta kami agar mengikutinya. Ia bergegas membawakan kopor kami berdua. Ternyata guest house tersebut tidak terlalu jauh dari mini market tadi. Kami memasuki salah satu bangunan yang sepintas mirip rumah susun tersebut. Tidak ada apa-apa di lantai pertama. Di lantai kedua, terdapat ruangan untuk anak-anak belajar taekwondo. Terdengar suara ramai mereka dan beberapa anak-anak tersebut melemparkan pandangan ingin tahu terhadap kami berdua. Dan akhirnya kami tiba di lantai 3.

Please take off your shoes,” pinta Michael dan ia pun mengajak kami memasuki ruangan tamu. Di sebelah kiri ruang tamu tersebut terdapat sebuah kamar mandi dan diujungnya terlihat satu kamar yang tertutup. Melihat pandangan mata kami, ia menjelaskan,” That room belong to the owner. He and his wife are not at home at this moment” Lalu ia menunjuk ke sebuah pigura foto yang terpampang di sudut ruangan. Sepasang suami istri paruh baya ada didalam foto tersebut.

Here they are. She was the one who answered you call this morning.”

Kemudian ia memperlihatkan dapur yang ada disebelah kamar tersebut. Nyaris tidak terlihat karena ada kulkas yang menutupi pandangan kami. Agak kedalam, kami melihat ada meja makan dengan dua kursi. Tanpa berhenti mengambil napas, ia sudah beranjak ke ruangan di sebelahnya,”And that will be your room. Come and have a look

Walau tahu tinggal di guest house itu tidak sama dengan tinggal di hotel, tetap saja kami sempat bengong. Kamar untuk kami sangat, sangat sempit! Jika salah satu dari kami hendak berjalan, maka yang lainnya harus berada di bunk bed. Aku melirik ke kamar-kamar yang ada disebelah kamar kami. Ada lima kamar lainnya dengan penghuni wisatawan dari negara lain. Mereka keluar sambil mengangguk ramah pada kami dan Michael.

Well, I will let you have your rest. You must be very tired… ,” lalu ia pun meninggalkan kami berdua.

Tanpa banyak bicara kami mulai berbagi jatah tempat tidur. Linda ingin diatas. Aku tidak keberatan. Naik turun tangga, walaupun itu hanya untuk bunk bed membuatku langsung merasa capek. Ia lalu mengajakku keluar untuk menelepon lagi kerumah dan mencari makan.

Sore mulai turun menyelimuti Busan. Linda mengajak aku menyeberang ke tempat telepon umum yang tadi kugunakan. Nah, mau beli apa ya aku di mini market ini? Mumpung sudah ada diluar… Tapi tunggu. Kelihatannya dibelakang mini market itu ada kedai makanan. Aku menyenggol Linda dan menunjuk ke arah kedai tersebut. Ia mengangguk sambil memberi kode bahwa kami sebaiknya menghubungi orang rumah terlebih dahulu. Usai memberi kabar bahwa kami sekarang berada di Busan, kami pun berjalan menuju kedai tersebut.

Ruangan di dalam kedai yang tidak terlalu besar itu terbagi menjadi dua. Yang sebelah kiri, terdapat 3 meja makan. Sementara yang disebelah kanan, disediakan untuk lesehan dan hanya ada dua meja makan berkaki pendek tapi panjang. Linda menunjuk tempat untuk lesehan tersebut dan kamipun segera melepas sepatu kami. Begitu duduk, seorang pelayan segera datang dan memberikan menu makanan. Aku menunjuk ke sebuah gambar yang menampilkan makanan yang dalam penglihatanku seperti sup daging. Pasti enak. Sementara Linda lebih memilih sup yang isinya sayur-sayuran. Sang pelayan mengangguk.

Could we have a cup of hot tea?” Linda bertanya sambil mengembalikan menu makanan tesebut.

“…?” sang pelayan hanya menatap kami, dengan pandangan bingung. Sial, aku tidak bawa kamus nih.

Hot TEA?” Linda mencoba sekali lagi. Kali ini sang pelayan mengangguk dan segera beranjak dari hadapan kami. Kami berdua menarik napas lega. Tapi belum lagi napas itu kami keluarkan dari lubang hidung, sang pelayan kembali lagi dengan membawa… BIR!

No,” Linda menggelengkan kepala. Kami berdua mulai kesal dan kelihatannya sang pelayan pun demikian. Hingga mataku menangkap dispenser berisi air mineral di dekat meja kasir. Tanganku segera menunjuk kearah dispenser itu. Pelayan tersebut akhirnya beranjak mengambilkannya untuk kami.

Free…” hanya itu yang ia katakan sebelum meninggalkan kami.

“Huh, bayar juga tidak apa-apa,” gerutu Linda. “Yang penting pesanannya khan bener!”

Kami lalu terdiam hingga makanan yang kami pesan datang. Seleraku langsung timbul begitu melihat sup daging dan nasinya itu masih panas. Mereka juga menyediakan tiga piring kecil yang isinya sayur kacang panjang, yang satunya lagi entah apa dan yang terakhir adalah Kimchi. Jadi ini dia makanan favorit penduduk Korea. Pasti enak, kalau aku suka asinan. Masalahnya, aku tidak terlalu suka dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan sayuran. Dan yang ini adalah asinan sayur kol. Glek.

“Hayoo, makan,” tegur Linda. Dengan sigap ia mengambil Kimchi tersebut dengan sumpit dan berancang-ancang untuk meletakkannya di mangkuk nasiku.

“Nanti, Lin…” dengan refleks aku menyambar pring nasi tersebut sambil melirik isi mangkup supnya. Wuek, yang bener aja! Isinya sayuran melulu. Apa belum cukup suguhan sayur di piring-piring kecil ini? Sambil tetap berjaga-jaga, aku mulai mengambil sayuran di piring yang ada didekatku. Uh, sumpitnya keren juga. Dari stainless steel dan bukan sumpit sekali pakai.

“Ndy, jangan kamu tancapkan sumpitnyake nasi ya… Kesannya khan jadi kayak hio di kuburan…”

“Aku khan juga udah baca buku traveling itu , Lin…” dengan keki aku menjawab.

“Yah, ngingetin doang. Kamu itu khan orangnya suka iseng…” heran, disaat seperti ini ia masih sempat-sempatnya mengingatkan hal tersebut padaku.

“Ya, ya, ya,” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku sebelum menghirup sup nya lagi. Nyam, nyam, nyam. Dagingnya juga gurih.

“Ada yang kurang,” celetuk Linda setelah lewat beberapa sendok masuk kemulutnya.

Aku mendongak dan nyaris tersenyum kalau tidak ingat mulutku masih penuh dengan nasi. Wuah, slurp… sup-nya enak sekali. Tapi memang, rasanya tidak seru ya kalau tidak pakai …

“Padahal aku bawa sambal botol tadi,” keluh Linda. “Wah, masih ada didalam koper!” Ia lalu memandangku dan aku memandangnya balik. Seperti biasa, kami saling bertelepati…

Setelah saling bertempur lewat pandang memandang, sudah jelas tidak ada satupun dari kami yang ingin berjalan kembali ke guest house hanya untuk mengambil sambal botol. Jadilah santapan siang itu kami santap tanpa sambel sedikitpun. Mau minta cabe…, nanti malah salah ngomong lagi dan diberikan hal lain yang mengejutkan… Lebih baik tidak usah bicara apa – apa lagi lah…Dan begitu makanan selesai kami santap, kamipun bergegas menuju meja kasir untuk membayar makanan. Harga makanan kami berdua masing-masing sebesar 5,000 Won. Huh…, itu sudah yang paling murah lho kalau dari yang aku baca di buku. Usai membayar dengan berat hati…kami pun melangkah keluar kembali ke guest house. Yang aku inginkan sekarang adalah tidur sebentaaar sajaaa… Ini akan menjadi malam pertama yang kami lewatkan di Korea… Harus menyimpan tenaga kalau ingin melewatkan malam nanti dengan menjelajah Busan.

Korea Love Story bab 3

Korea Love Story bab 2

Korea Love Story bab 1




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline