Lihat ke Halaman Asli

Korea Love Story Bab 2

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aduh, kerja’an kok banyak banget sih! Huh, lihat saja nih sekaranglaporan pajak bulanan yang ada di depanku. Angka-angka itu tengah menari dihadapanku ketika tiba-tiba kudengar suara,”Sandy, kamu sibuk?”

Aku mendongak. Sudah dua minggu lewat aku tidak berbicara dengan Linda. Selain karena kami berdua memang sedang sibuk, aku juga tidak yakin bisa mengontrol emosi. Karenanya aku hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaannya. Pikiranku menduga-duga, apa lagi yang akan ia katakan?

Ia menarik sebuah kursi yang tengah kosong dan langsung duduk di dekatku. Kemudian dengan senyuman angelic-nya itu ia memberikan sebuah amplop. Dengan enggan aku mengambil dan membukanya. Pasporku. Ada apa nih?

“Senang khan? Visa kita di granted lho!”

Jedhig! Lama juga ya…,aku berpikir. Dua minggu lebih. Malah, karena sudah terlalu lama aku sampai menduga bahwa permohonan kami telah ditolak. Saking lamanya aku juga lupa nasih pasporku sendiri.

Sementara itu, tanpa memperhatikan perubahan raut wajahku; Linda asyik berceloteh tentang bagaimana rencana kami selanjutnya. Lho? Tidak salah nih? Ia bahkan dengan gencar mulai menanyakan soal penginapan kami disana. Yang pasti, ia tidak mau menginap di losmen. Ia tidak suka berbagi kamar mandi dengan penghuni lain. Bagaimana biaya makan? Lalu, apakah aku sudah mendapat brosur perjalanan dari temanku disana? Tidak tampak setitikpun tanda ia pernah berkata padaku jelas-jelas bahwa ia ingin membatalkan perjalanan ini. Dan tanpa menunggu reaksiku lebih lanjut, ia pun beranjak dari kursi tersebut bersiap meninggalkanku. Sebelumnya ia memberi tahu bahwa ia telah memesankan tiket untukku. Akhirnya, ia pun berlalu.

Aku menunggu selama beberapa menit sebelum mulai menghubungi Leticia..

“Apa kubilang,”kudengar Leticia berkata dengan nada suara penuh kemenangan. Usai tertawa, ia melanjutkan,”Ndy, dengar. Tidak tertutup kemungkinan dia akan kumat dan membatalkan lagi. Lalu jadi pergi lagi. Sabar-sabar saja. Ikuti saja maunya. Nah, berarti jadi dong kita berbelanja minggu ini?”

Begitulah. Jadi berangkatnya saja belum pasti, tapi macam-macam rencana sudah dibuat. Michael Han; orang Korea yang kukenal melalui internet sudah aku hubungi. Ada banyak hal yang aku tanyakan padanya mengenai traveling di Korea. Michael nampak sigap membantu. Terlalu antusias malah. Karena ia menawarkan untuk membayarkan tempat penginapan segala. Aku dan Linda sampai berdebat seru mengenai masalah ini, namun akhirnya kami mengalah juga. Michael, nampaknya tidak senang ketika niat baiknya ditolak. Jadi, sebagai balas budi, kami berniat membelikannya oleh-oleh. Dan, itu artinya kami memang harus berbelanja.

Inilah serunya kalau punya rencana jalan-jalan. Apalagi kalau tempatnya ada di luar negeri! Tiba-tiba saja kita butuh banyak barang dan perlengkapan “perang”. Aku sudah siap dengan daftar barang yang harus kubawa nanti. Padahal, jadi pergi atau tidak… aku masih tidak tahu pasti. Dengan Linda, ketidakpastian itu bertambah tebal saja. Tapi aku sudah mulai terbiasa.

Linda hanya salah satu dalam daftar panjang dari kumpulan teman-temanku yang angin-anginan. Begitu juga dengan Leticia. Sementara menurut mereka, aku yang terlalu tegang dan serius dalam menghadapi sesuatu. Kami berusaha saling mempengaruhi satu sama lain akibat kebiasaan ini. Hasilnya, cukup lumayan. Salah satu contohnya, jika kami hendak bertemu disuatu tempat; mereka selalu berusaha tepat waktu. Setidaknya tepat waktu menurut versi mereka yaitu molor 1 jam dari yang sudah dijanjikan. Itu sudah termasuk kemajuan ketimbang dulu. Dan aku berusaha untuk tidak terlalu peduli jika ada temanku yang lupa atau ingkar janji. Tapi sulit rasanya. Seperti sekarang ini.

Linda seharusnya bertemu dengan kami. Rencananya kami ingin memilih oleh-oleh bersama untuk Michael. Serta, tentu saja belanja untuk keperluan kami sendiri. Tambahan lagi untuk menetapkan itinerary kami disana. Ia meneleponku berulang kali agar aku jangan sampai lupa membawa serta brosur-brosur perjalanan itu. Tapi 5 menit menjelang waktu untuk bertemu; ia membatalkan niatnya. Itupun harus kuhubungi terlebih dahulu. Ggggrh, aku kok jadi ingin meledak lagi?

“Sudahlah…,” Leticia menggamit lenganku memasuki pertokoan Pasaraya. “Sudah tahu dia seperti itu, tapi kamu masih mau saja diajak pergi dengannya. Keluar negeri pula!”

Ketika dilihatnya aku tidak menjawab, ia langsung menembak,”Karena dia teman kita. Karena dia punya sisi yang baik. Dia rendah hati, tidak sombong… ; sama seperti yang sedang berbicara sekarang ini…”

Baru saja hendak kutangkis ketika terdengar bunyi deringan handphone milik Leticia. Akupun meninggalkannya sejenak untuk menjawab telephone tersebut dan pergi ke kasir untuk membayar sneakers yang sudah kuintip dari tadi. Ketika aku kembali dengan belanjaanku kulihat wajahnya yang meringis. Belum sempat kuperoleh jawabannya ketika kulihat sekelebat wajah Linda. Lho? Bukannya tadi ia bilang tidak bisa? Apa aku salah lihat? Astaga, masa iya sih telepon tadi dari Linda?

“Hi Ndy! Halo Leti!” dengan ceria Linda menyapa kami. Aku memandangi Linda lalu Leticia lalu Linda lagi, bergantian. Berusaha menahan ekspresi wajahku agar tidak memperlihatkan raut yang bingung dan kesal.

Well, tadi dirumah aku sedang berpikir mengenai perjalanan kita… Dan aku ingat kalau kita seharusnya membeli oleh-oleh untuk Michael khan? Bagaimana? Ada yang bagus?”

“…”

“Ohya…, kita juga akan membicarakan itinerary selama di Korea khan? Yuk, kita mulai aja sekarang… Kamu tidak lupa khan membawa brosurnya?”

Aku terkesima. Leticia membuang muka sambil memegang perutnya karena menahan tawa. Dan Linda menatap kami berdua dengan senyumannya yang cerah. Secerah warna pink tank top yang ia gunakan… Efek baju, mungkin?

Leticia mungkin sudah merasakan sinyal-sinyal berbahaya dariku. Ia segera mengusulkan agar kami mengobrol di Café Wien. Sepanjang perjalanan kesana aku masih diam membisu. Kubiarkan saja mereka berdua mengobrol mengenai trend baju saat ini. Bahkan ketika kami sudah sampai disana dan memesan minuman, aku masih membungkam. Kuberikan saja brosur yang sudah kubawa dan mereka berdua mulai asyik melihat-lihat. Dan benar saja, Linda mengusulkan untuk tidak pergi ke Busan, tempat Michael Han tinggal.

“Ya, nggak bisa begitu dong Lin…,”sergah Leticia seraya tidak melepaskan pandangan matanya dari brosur yang dipegangnya. Sambil meminum hot chocolate, aku berusaha melihat brosur tersebut yang rupanya terdapat photo lokasi shooting dari film Winter Sonata. Tentu saja, dengan Leticia… tidak jelas bagiku apakah ia tengah melihat gambar pemandangannya yang indah di musim dingin atau hanya pada gambar sang aktor yaitu Bae Yong-jun. Leticia mengingatkan Linda bahwa temanku di Busan itu sudah banyak membantu dalam memberikan informasi . Sudah seharusnya kami singgah untuk berterimakasih.

Linda langsung menyanggah ucapan Leticia. Busan terlalu jauh dari Seoul, argumentasinya Belum lagi biaya transportasi kesana. Bener juga sih, aku terpaksa mengakui. Lagipula; memang dari awal Linda sudah tidak setuju dengan usul Michael yang berkeras membantu mencarikan penginapan. Leticia menatapnya agak lama berusaha membaca apa yang ada dalam pikiran Linda.

“Memangnya kamu prefer kemana?” ia langsung menebak bahwa pasti ada sesuatu yang diinginkan Linda. Dan ketika melihat wajah Linda yang mendadak seperti diterangi lampu 40 watt, aku langsung curiga… Aku kenal sekali raut wajah itu… Raut wajah ini juga yang telah membawa aku hingga menyetujui rencana perjalanan yang kepastiannya saja masih tidak jelas.

“Ah, berhubung kamu bertanya… sebenarnya aku lebih suka melihat Seoraksan… Coba deh kalian lihat… bagus ya? Leticia, coba perhatikan… letaknya dekat dengan tempat shooting film Endless Love, loh… ”

Leticia dan Linda langsung sama-sama menjerit pelan dan larut dalam membicarakan tempat tersebut. Sementara aku menelan ludah. Glek…., itu khan gunung… ya amplop… Aku memandangnya dengan penuh rasa tidak percaya. Wanita yang hobinya keluar masuk mall ini juga menekuni kegiatan pecinta alam? Linda tersenyum kecil dan berusaha menenangkan,”Aku tahu kamu tidak suka hiking, Ndy… Tenang saja… Kita bisa naik kereta gantung kok disana…”

“Hmmm, ngomong-ngomong apa tidak ada satupun dari kalian yang tertarik untuk ke pulau Cheju? Kelihatannya menarik…” cetus Leticia sambil memperlihatkan salah satu brosur.

“Sebenarnya semua tempat disana terlihat bagus-bagus…,” aku mengeluh. “Tapi kami berdua belum pasti akan menuju pulau Cheju apa tidak. Karena , yah itu tadi… Khawatir waktunya tidak cukup dan bisa melelahkan…”

“Makanya, aku pikir sebaiknya kita tidak ke Busan… Kenapa tidak sekalian saja ke pulau Cheju? Bukankah jauh lebih menarik? Iya khan, Leticia? ” sambar Linda tiba-tiba.

“Hmmm, kamu kok langsung antusias begitu?” Leticia balik bertanya. “Padahal nih, aku dengar kamu nyaris tidak jadi ke Korea. Lalu jadi. Terus tadi katanya mau bareng beli oleh-oleh. Namun kamu batalkan… Eh, tau-tau kamu sekarang ada disini…”

Aku tercengang memandang Leticia. Lalu memperhatikan Linda. Agak lama sebelum akhirnya ia menjawab,“Yah, aku tahu akhir-akhir ini aku memang menjengkelkan…”

Wah, merasa toh, selama ini dia sering membuat tensi darahku naik? Lalu, ia memasang wajah angelic-nya lagi dan meminta maaf. “Memang akhir-akhir ini aku sedang banyak pikiran”

Ini malah lebih gawat, aku mengomel dalam hati. Aku sudah bisa menebak kemana arah pembicaraannya. Lihat saja gayanya sekarang. Ia mulai lagi dengan mereguk minumannya perlahan-lahan. Kemudian ia menatap kami berdua sebelum memulai ceritanya mengenai masalahnya dan Dion. Serta rencana Dion yang akan berangkat ke Amerika. Mungkin hendak bekerja disana, aku sudah tidak mendengar lagi. Dengan wajah muram, Linda mengeluh bahwa mereka baru saja berbaikan. Tapi, Dion sudah punya rencana untuk meninggalkannya lagi.

Hmmh, benar-benar deja-vu. Yah, sudah… katakan saja apa maunya kali ini dengan cepat. Mungkin ada baiknya agar aku bisa segera terbebas dari ketidakpastian ini.

“Karenanya aku juga ingin langsung mengatakan kepadamu Sandy, “ lanjut Linda sambil menatap kami lekat-lekat. “Bahwa walau kita berangkat bersama; aku akan pulang terlebih dahulu jika Dion berangkat ketika kita masih di Korea”

“…”

♥♥♥

“Kamu tidak apa-apa?” malamnya Leticia menghubungiku dirumah.

“Hmm, aku sendiri tidak tahu. Maksudku, kita memang sudah memperkirakan dia akan bertingkah begini khan? Tapi aku tetap saja surprise bahwa perkiraan kita benar…” aku memainkan handuk di rambutku yang masih basah sambil menarik napas panjang. “Dan asal kamu tahu saja, aku baru saja selesai bicara dengannya sebelum kamu menelepon”

“Ngomong apa lagi dia kali ini?” tanya Leticia dengan heran.

Aku menggelengkan kepalaku, ketika teringat akan percakapanku dengan Linda sebelum dihubungi oleh Leticia. Atau tepatnya, Linda yang asyik berkicau di telepon dengan aku pendengar setianya. Mengenai tiket yang sudah ada ditangannya. Oleh-oleh juga sudah tersedia dan siap dibawa. Semua berkat Darling Dion. Dengan ceria Linda mengatakan ternyata Dion begitu kehilangan dirinya yang akan pergi ke Korea. Sehingga, ia siap membantu apa saja.

Tanpa sadar aku menggumam kesal yang terdengar oleh Leticia,”Ada apa? Hei, kamu mestinya senang dong… Berarti kalian jadi berangkat khan? Atau, sebaiknya kalian batalkan saja semuanya… Mumpung belum terlambat…Tiket khan bisa dijual lagi ke orang lain.” ia memberi saran.

Bukannya tidak terpikir sih, keluhku dalam hati. Tapi, aku juga mempunyai sifat jelek. Keras kepala. Semakin banyak halangannya, semakin kuat keinginanku untuk melakukan hal tersebut. Aku merasa konyol untuk membatalkan perjalanan yang sudah kurencanakan lama.

Leticia mendengus sebelum menjawab,”Itu alasan yang paling bego yang pernah aku dengar dari orang yang berkeras untuk travelling… Kamu tuh…, ah tidak… Tepatnya kalian berdua itu kekanak-kanakan! Tapi terserah lah … Perjalanan ini khan mestinya lebih mendekatkan kalian berdua. Nah, baru mau berangkat saja sudah berantakan seperti ini…”

Dia benar, keluhku dalam hati. Apa yang tengah terjadi dengan persahabatanku dan Linda? Mengapa perjalanan ini malah semakin menjauhkan diri kami? Tapi, kalau dipikir-pikir…, apakah kami sudah benar-benar mengenal satu sama lain? Hmmm, perjalanan ini bisa menjadi bumerang bagi persahabatan kami… Masih inginkah aku meneruskannya?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline