Kata qadariyah, berasal dari kata qadara yang memiliki dua pengertian yaitu adalah berani untuk memutuskan serta berani untuk memiliki kekuatan maupun kemauan. Sedangkan kata qadariyah yang dimaksudkan oleh aliran ini ialah suatu paham, bahwa manusia memiliki kebebasan dalam berkehendak serta memiliki kemampuan untuk berbuat.
Qadariyah meyakini manusia memiliki kebebasan dan kekuatan untuk menentukan perbuatan yang dikehendakinya dan sesuai kemampuannya. Aliran atau firqah yang menganut pemikiran ini berpendapat bahwa manusia berkuasa untuk mewujudkan perbuatan baik atau menjauhi perbuatan buruk atas kemampuan dan kemauannya sehinggapaham ini menolak anggapan bahwa manusia berbuat dan menjalani kehidupannya hanya mengikuti takdir yaitu takdir dan nasib manusia yang sudah ditentukan oleh Allah semenjak zaman azali. Dalam hal ini Harun Nasution menegaskan penamaan paham Qadariyah berasal dari kata qudrah atau kekuatan untuk melakukan kehendak, bukan pengertian bahwa manusia tunduk pada qadar Allah yang seharusnya dimaknai dengan pengertian tersebut.
Aliran Qadariyah muncul pada periode terakhir sahabat, yaitu ketika terjadi perdebatan tentang qadar atau ketetapan Tuhan. Aliran ini juga muncul sebagai respons terhadap gejolak politik pada masa Dinasti Umayyah I (661–750 M).
Qadariyah merupakan salah satu ideology namun tergolong bid’ah dan sesat atau bathil dalam aqidah Islam. Paham ini muncul pada pertengahan abad pertama hijriah tepatnya 70H/689 M di Basrah, Irak. Dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani dan muridnya Ghailan Ad-Dimasyqi, ketika masa pemerintahan khalifah AbdulMalik Ibn Marwan (685-705M).4Latar belakang munculnya ideology ini adalah bentuk pertentangan pada kebijakan politik khalifah Bani Umayyah yang terkesan memaksakan kehendaknya, pemerintahan Bani Umayyah dikenal kejam karena tidak segan-segan memberi hukuman mati kepada warganya yang memberontak dan melakukan pembunuhan baik dari keturunan Rasulullah SAW sekalipun yaitu Husain Bin Ali Bin Abu Thalib.
Ma’bad Al-Juhani dikenal sebagai tokoh terpandang dan dipercaya sebagai ulama karena pernah berguru denganHasan Al-Basri seorang Tabi’in ulama terkemuka di basrah yang langsung berguru dengan sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Ketika Ma’bad pernah bertanya perihal kebenaran kepemimpinan Daulah Umayyah, gurunya Hasan Al-Basri mengungkapkan pendapatnya dengan mengatakan “Mereka (para pemimpin Daulah Umayyah dengan segala kebijakannya) adalah musuh-musuh allah dan pembohong.5Ma’bad menggunakan pemikiran Qadariyah ini awal mula muncul dari seorang penduduk irak yang bernama Susan beragama nasrani lalu masuk islamdan kembali lagi ke agama semula. Pemikiran Qadariyah dengan mengedepankan bebas berkehendak atas kekuatan dan kemampuan manusia yang sudah Allah ciptakan dengan penciptaan manusia itu sendiri mendapat respond dan diterima dengan tangan terbuka oleh sebagian besar penduduk irak juga karena mempercayai sang pelopor yang terkenal sebagai ulama terkemuka ketika itu. Pada akhirnya khalifah Abdul Malik Bin Marwan menangkp Ma’bad dan pengikutnya untuk dijatuhi hukuman, termasuk Ma’bad Al-Juhani dihukum mati di Damaskus (80 H/690 M).
Paham Qadariyah dilanjutkan oleh muridnya yaitu Ghailan Ad-Dimasyqi, salah seorang penduduk Damaskus, yang sudah diperingatkan oleh Khalifah Umar Bin Abdul Aziz (682-720 M), maka paham ini berangsur surut dengan wafatnya Ma’bad al-Juhani dan peringatan dari Khalifah. Namun lambat laun ketika khalifah Umar Bin Abdul Aziz wafat, Ghailan kembali meneruskan paham qadariyah ini kepada penduduk Damaskus, sehingga beliau ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh khalifah yang memimpin ketika itu yaitu Hisyam Bin Abdul Malik (724-743 M).
Dalam sebuah riwayat dari Al Lalikai dari Imam Syafii, dijelaskan bahwa qadar merupakan orang yang menyatakan bahwa Allah tidak menciptakan apapun. Sementara itu, Imam Abu Tsaur menjawab bahwa qadariyah merupakan orang yang menyatakan, bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan dari para hamba- Nya, menurut penganut aliran qadariyah pula, Allah tidak menentukan serta menciptakan perbuatan maksiat pada hamba-Nya.
Sedangkan ketika, Imam Ahmad ditanya mengenai qadariyah, ia menjawab bahwa mereka kafir. Abu Bakar Al Marudzi pun berkata bahwa, ‘saya bertanya pada Abu Abdullah tentang qadari, maka beliau menjawab bahwa ia tidak mengkafirkan qadari yang menetapkan ilmu Allah atas perbuatan dari hamba-Nya sebelum terjadi’.
Aliran ini disebut sebagai aliran qadariyah, sebab para pengikutnya mengingkari takdir serta mereka menganggap bahwa manusia telah melakukan usahanya sendiri, seperti bagaimana yang telah dituturkan oleh Imam An Nawawi.
Pada aliran qadariyah, para pengikutnya percaya bahwa akal diposisikan sebagai instrumen paling penting. Sebab, akal menjadi penimbang dari keputusan manusia. Pandangan para pengikut aliran qdariyah bahwa akal merupakan hal krusial dalam tingkah laku beragama ini, juga kelak akan memengaruhi aliran-aliran yang lahir di era selanjutnya yaitu Mu’tazilah pada tahun 723 M.
Orang-orang yang menganut aliran qadariyah, merupakan sebuah kelompok yang meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia terwujud, karena ada kehendak serta kemampuan manusia itu sendiri. Dalam aliran qadariyah pula, para penganut percaya bahwa manusia dapat melakukan sendiri seluruh perbuatan, sesuai dengan kemampuan yang ia miliki.