Gempa dan tsunami yang terjadi di Palu, Donggala, dan Sigi, Sulawesi Tengah pada 28 September 2018, meninggalkan duka. Tak hanya menimbulkan korban jiwa, bangunan hancur, dan masyarakat yang kehilangan tempat tinggal. Jaringan listrik padam sehingga menyebabkan saluran komunikasi terputus, transportasi lumpuh, dan wilayah terdampak bencana menjadi gelap gulita.
Mengamankan pasokan energi sangat dibutuhkan untuk menyingkap kegelapan. Warga yang tidak memiliki tempat tinggal harus mendapatkan pasokan energi supaya bisa bangkit kembali dan tersenyum menatap masa depan.
Energi? Kenapa harus energi? Kenapa bukan sandang, pangan, dan papan yang diutamakan sebagai kebutuhan utama? Semua itu terjawab dalam Kompasiana Nangkring bertema Energi untuk Sulawesi Tengah, Crematology Coffee Roaster, Jakarta Selatan, Rabu, 17 Oktober 2018.
Arya Dwi Paramita, External Communication Manager Pertamina tersenyum. "Kenapa energi? Karena kalau energi nggak ada, bantuan nggak akan sampai sana. Kalau akses putus, harus ada yang dikirim dan itu pakai bahan bakar," terang Arya.
Gempa bermagnitudo 7,4 yang kemudian disusul dengan tsunami dan likuifaksi membuat wilayah Palu, Sigi, dan Donggala luluh lantak dengan korban hingga lebih dari 2113 orang per 20 Oktober (kompas.com).
Menyaksikan yang terjadi di Palu, Sigi, dan Donggala, meski hanya melalui pemberitaan media cetak, radio, dan tayangan televisi, menimbulkan rasa pedih di hati. Ingatan seakan tercerabut kembali pada gempa dan tsunami yang mengguncang dan menerjang Aceh pada tahun 2004.
Rabu malam itu, antusiasme yang hadir begitu tinggi. Semua lantaran keingintahuan untuk mendapatkan informasi mengenai cerita di balik penyediaan pasokan energi di Sulawesi Tengah oleh Pertamina, perusahaan milik negara yang bergerak di bidang energi.
"Jadi waktu itu, amankan pasokan energi dulu. Semua bisa hidup, Semua bisa jalan. Hal ini juga untuk kita juga, supaya tidak perlu pakai engkol karena listrik PLN sudah hidup. Jadi semua itu, adalah ujung-ujungnya energi. Saat BBM tidak ada, tidak akan bisa melakukan banyak," tutur Arya.
Memulihkan pasokan listrik dan menangani saluran komunikasi yang terputus menjadi utama dan darurat. Di sisi lain, masyarakat harus bisa makan meski berada di sekitar reruntuhan. Sandang, pangan, dan papan tidak bisa sampai jika tidak ada energi.
Pasca gempa, banyak pesawat yang harus mendarat. Ekskavator membutuhkan solar. Truk-truk tentara juga membutuhkan solar, dan yang paling penting adalah rumah sakit.
Banyak pasien yang tidak tertangani operasinya karena listrik tidak hidup. Genset harus menyala sebagai penerang. Belum lagi SPBU, dapur umum, pelabuhan, dan bandara.