Film Indonesia saat ini bisa dikatakan kaya. Perkembangannya sangat bagus. Tak hanya memiliki berbagai tema, secara kualitas dan kuantitas pun meningkat. Sineas perempuan semakin banyak berperan dalam pembuatan film yang layak tonton dan digemari oleh masyakat Indonesia.
Sabtu 6 Mei 2017, langkah kaki terayun ke Lau’s Kopitiam Setiabudi One, Kuningan, Jakarta. Pagi itu, Kompasianers Only Movie Antusiast Klub (KOMiK) menggelar sebuah event bertajuk ‘Saatnya Sinas Perempuan Pegang Kendali di Kancah Film Nasional’.
Bila biasanya event lebih banyak langsung menonton film yang ditayangkan, termasuk berjumpa sejumlah artis pada gala premier, kali ini berbeda. Bukan hanya sekedar tempatnya. Dua perempuan dihadirkan sebagai pembicara, yakni penulis skenario Swastika Nohara dan blogger film Balda Zain Fauziyah. Sebagai moderator tampil admin KOMik Dewi Puspasari.
Saya menyukai sejumlah film yang naskahnya ditulis oleh Swastika Nohara, antara lain Tiga Srikandi dan Cahaya Beta Dari Timur. Film yang melibatkan perempuan lulusan sarjana Psikologi ini begitu mengena buat saya karena ditampilkan sesuai dengan realitas dan begitu menginspirasi.
Melalui event Danamon Menginspirasi ini, saya dapat bertemu dan memperoleh ilmu secara langsung dengan Swastika. Sebelumnya, saya hanya mengenalnya melalui tulisan-tulisan di media catak ataupun media online.
Suana yang dihadirkan penuh keakraban dan berlangsung seru. Maklum, seluruh anggota KOMiK memang suka menonton film. Jadi, sangat nyambung. Di tempat itu, Swastika mencerbagaimana perempuan Indonesia ditampilkan dalam film.
Perempuan Indonesia sudah lama terlibat dalam film Indonesia.
Setidaknya bisa dibagi dari era masa lalu, yang menghadirkan Roekiah pada tahun 1937, Terang Boelan (Het Eilan der Droomen) ANIF (Algeemene Indie Film Syndicaat). Selain itu ada Titien Sumarni (Seruni Salju, 1951) yang dikenal sebagai Marilin Monroenya Indonesia.
Masih pada era tahun50-an, tepatnya 1956, muncul Tiga Dara (Chitra Dewi, Mieke Wijaya, Indriati Iskak) dengan garapan sutradara Usmar Ismail. Ratna Asmara hadir sebagai sutradara perempuan di Film Sedap Malam (1950). Belum lagi akting memukau Christine Hakim pada (Cinta Pertama, 1973), Tjoet Nja’Dhien (1988) karya Teguh Karya.
Film Indonesia, menurut Swastika, berkembang pesat selama sepuluh tahun terakhir. Berbeda pada era jelang dan tahun 80-an, yang menghadirkan film Inem Pelayan Seksi (1976) dan Lima Cewek Jagoan (1980).
Tahun 1990-an, bisa dibilang sebagai tahun suramnya perfilman Indonesia