Dua tahun belakangan ini, mengenang pahlawan nasional Kartini menjadi lebih istimewa. Dua film layar lebar dengan tokoh Kartini hadir di seluruh jaringan bioskop di Indonesia. Meski tentu saja dengan produser, sutradara, dan bintang film yang berbeda, film dimunculkan tepat pada momen bulan April, yang merupakan bulan lahirnya Kartini.
Kisah Kartini dengan perjuangannya untuk memberikan pendidikan bagi kaum perempuan sudah kerap didengar. Bahkan sejak bangku taman kanak-kanak. Walau begitu, melalui film Kartini, yang tayang serentak pada 19 April 2017, Hanung Bramantyo sebagai sutradara mampu menyajikan hal yang berbeda dari sosok puteri Bupati Jepara itu.
Menyaksikan special screening film Kartini, pada Rabu 5 April lalu bersama teman-teman penggemar film Komik Kompasiana di Plaza Indonesia, saya menemukan hal baru. Jauh dari bayangan sebelumnya mengenai sosok Kartini yang umumnya diketahui sebagai tuan puteri yang selalu menjaga tata krama dan tutur bahasa.
Adegan-adegan awal Kartini justru menampilkan pekik gusar Kartini kecil yang ditarik oleh kedua kakak lelakinya Slamet dan Busono. Kartini kecil diminta untuk tidak tidur bersama Ngasirah yang berada di kamar pembantu.
“Bibi Ngasirah bukan pembantu. Dia ibu kita,” sergah Kartini kecil.
Meskipun istri pertama, Ngasirah bukanlah istri yang utama karena tidak berasal dari kaum bangsawan. Peraturan kolonial untuk menjadi bupati, mengharuskan ayah Kartini R.M.A.A Sosroningrat menikah lagi dengan Moeryam perempuan bangsawan Madura, yang mempunyai status sosial sama.
Sejak saat itu, Ngasirah harus tidur di kamar pembantu. Semua anaknya pun harus memanggil dengan sebutan Yu dan bukan ibu. Alhasil, sejak awal, film Kartini sudah mampu mengaduk emosi.
Terlebih saat digambarkan Kartini yang terduduk lesu di sudut ranjang karena menjalani masa pingitan sejak usia 12 tahun, setelah mendapatkan datang bulan pertama. Kala itu, setiap perempuan harus dipingit hingga menanti datangnya pinangan dari seorang lelaki yang akan menjadi suaminya.
Perempuan tidak bisa menolak untuk dinikahkan menjadi istri pertama, kedua, ketiga, maupun keempat. Tidak bisa lagi bisa bersekolah. Namun, dinding-dinding kamar yang semula dianggap Kartini membatasi gerak lincah selama masa pingitan, akhirnya perlahan menjadi dunia baru yang menembus ruang dan waktu ketika Kartono, kakak lelaki Kartini memberikan kunci lemari buku.
Dari buku-buku milik Kartono, yang melanjutkan studi ke Belanda, Kartini memiliki pandangan yang luas, pemikiran yang cerdas dan maju. Melalui buku yang dibacanya, Kartini menjelajah ke berbagai negara, bercakap-cakap dengan tokoh-tokoh dalam buku.
Semua itu digambarkan lewat layar film yang berubah dengan latar suatu negara atau peristiwa, sesuai dengan buku yang sedang dibaca oleh Kartini. Kegemaran Kartini membaca dan menulis ditularkannya kepada dua adik perempuannya yang juga harus menjalani masa pingitan, yakni Roekmini dan Kardinah.