SAAT BPJS Kesehatan mulai operasional pada tanggal 1 Januari 2014, yang kemudian membuat sejumlah perusahaan swasta mengganti asuransi kesehatan perusahan asuransi swasta ke BPJS, seorang kawan saya gelisah. Kantor tempatnya bekerja juga memberlakukan hal yang sama.
Koko, kawan saya itu, merasa pesimis dengan pelayanan kesehatan yang bakal diterimanya nanti dari BPJS. Apalagi, dengan statusnya yang hanya sebagai karyawan, hanya dimasukkan pada kelas II. Tidak terbayang baginya, perlakuan medis seperti apa yang akan diterimanya.
Menurutnya, sudah pasti akan buruk dan kurang menyenangkan. Satu hal lain yang membuat dia protes adalah masalah iuran kesehatan. Menurutnya, ketika perusahaan asuransi swasta, kantornya membayar iuran asuransi yang lebih mahal. Kini dengan mengikuti BPS, maka iuran yang dibayarkan perusahaan tempatnya bekerja lebih murah. Itu berarti, perusahaan diuntungkan dan karyawan yang dikorbankan.
Meski demikian, karena tak bisa protes, akhirnya kawan saya memutuskan untuk mengambil asuransi kesehatan dari sebuah perusahaan swasta dengan dana pribadi. Katanya, untuk jaga-jaga bila terjadi suatu masalah kesehatan.
Tidak yakin akan pelayanan BPJS Kesehatan menjadi alasan utama. Tidak satu dua kawan saya yang mengungkapkan hal itu. Apalagi, jika mendengar obrolan panjangnya antrian pasien yang menghabiskan waktu berjam-jam dan mutu obat yang standar.
Benarkah seperti itu? Ternyata tidak. Saya akhirnya tahu mengenai pelayanan BPJS Kesehatan setelah salah seorang keponakan saya jatuh terduduk dan cidera. Pelayanan tetap diberikan dengan baik kepada pasien BPJS Kesehatan. Dokter menyuruh keponakan saya untuk menjalani sebuah terapi di sebuah rumah sakit rujukan di kawasan KS Tubun, Petamburan.
Saya diminta kakak yang saat itu tidak sempat menemani anaknya pada salah satu terapi karena ada keperluan kerja. Saat itu, dokter menuliskan keponakan saya untuk mengikuti delapan kali terapi sinar untuk memulihkan cidera yang dialaminya.
Saat mengantar pertama kali datang, saya agak jenuh. Antrian sudah panjang karena memang datang agak siang. Ratusan orang sudah memenuhi bangku duduk ruang tunggu di depan loket. Namun, untungnya pelayanan cukup cepat. Untuk terapi selanjutnya, saya datang lebih pagi untuk menghindari antrian panjang.
Waktu yang cukup lama itu saat berada di ruang terapi karena durasi penyinaran yang dilakukan kepada setiap pasien berbeda-beda. Tergantung pada cidera atau masalah yang dihadapi.
Saat menunggui keponakan yang disinar, seorang ibu menyatakan rasa syukurnya dapat menjalani terapi rutin. Suatu hal yang tidak pernah dilakukannya dulu. Semua itu terjadi karena adanya layanan BPJS.
Di tempat yang sama juga, di sekitar ruang terapi fisioterapi, yang berjajar dengan ruang terapi wicara dan terapi lainnya, mengantri juga sejumlah ibu dan anak-anaknya.