Pedagang bunga yang hanya beratapkan terpal, tampak berjajar di sepanjang jalan. Bunga-bunga segar yang indah dikemas dalam ukuran kecil hingga ukuran tas jinjingan. Bunga mawar merah, mawar putih, dan kenanga yang memberikan wangi harum tatkala dicium.
Tidak sulit mendapatkan bunga. Hanya saja, menjelang datangnya ramadhan atau bulan puasa, harga bunga cukup melejit. Terutama karena semakin banyaknya para peziarah yang hendak mendatangi makam orang tua, keluarga, atau pun leluhur.
Para pembeli bunga ini tidak hanya datang dari daerah sekitar, melainkan banyak juga para perantau yang datang. Salah satunya kami. Tiba di Kongsi, Purworejo, Jawa Tengah, sejumlah penjual bunga sudah terlihat di sisi kiri dan sisi kanan jalan, pekan lalu.
Bunga-bunga sudah tersusun dalam kemasan keranjang, yang berbeda ukuran. Tinggal dipilih sesuai dengan tawaran harga. Kemasan yang kecil, sedang, ataupun sebesar tas jinjingan. Harga yang ditawarkan bervariasi mulai dari Rp.15.000 hingga Rp.400.000. Pedagang bunga bersikukuh tidak ingin menurunkan harga saat ditawar, dengan alasan memang segitulah harganya. Semakin mendekati puasa, maka semakin mahal pula harga bunga. Hal itu akan berlangsung juga menjelang lebaran.
Sebenarnya, tidak ada ketentuan mengenai bunga untuk berziarah. Namun, tetap tidak lengkap rasanya datang ke makam tanpa membawa bunga untuk yang akan ditaburkan. Sudahlah, hanya sesekali saja mendatangi makam dengan membawa bunga. Akhirnya sebungkus kecil bunga seharga Rp.25.000, yang dimasukkan ke dalam kantung plastik kecil berwarna hitam. Cukuplah rasanya, tidak perlu banyak-banyak membeli bunga.
Ada agenda yang akan dilakukan jelang ramadan kali ini untuk kami, yakni mengganti kijing baru untuk tempat peristirahatan simbah kakung dan simbah putri, yang sudah pudar. Membersihkan sekitar makam, dan mengirimkan doa dipandu seorang ustad, di makam yang mayoritas masih merupakan keturunan beberapa generasi. Berdoa memohon kepada Allah agar yang telah berpulang diberikan ampunan.
Pada Jumat malam pekan lalu, menggelar tahlilan dengan mengundang para kerabat dan anggota pengajian kampung. Masak-masak dan menyiapkan hidangan dari kue-kue hingga makanan berat pun sudah diperhitungkan dengan baik. Sebuah acara yang juga menjadi ajang berkumpulnya keluarga, yang sehari-harinya sibuk dalam rutinitas hidup.
Ziarah kubur, nyekar, atau pun nyadran sebutannya. Tetaplah menjadi proses yang tidak bisa lepas untuk mengingat keluarga atau leluhur, yang telah berpulang lebih dulu. Masih terjaga sejak dulu, hingga kini. Buat kami, maknanya tidak hanya sekedar berdoa memintakan ampunan bagi yang telah meninggal. Sebagai bakti bagi yang telah pergi. Inilah momen yang juga sekaligus mengingatkan kepada diri sendiri bahwa suatu saat, akan berada di balik tanah dan juga akan dimakamkan.
Pulang kampung untuk berziarah ternyata banyak juga dilakukan teman, khususnya sejak sepekan menjelang puasa. Tempat pemakaman umum atau pemakaman keluarga banyak dikunjungi keluarga. Khususnya keturunan dari yang dimakamkan.
Ria, salah seorang teman yang tinggal di Kedoya, pun tak ketinggalan melalui akun Facebooknya yang mengunggah foto makam kedua orang tuanya, Sabtu (4/6). “Legaaa rasanya menyambut Ramadan kalau sudah berkunjung ke rumah keabadian bapak sama ibu.”
Kelegaan dan kebahagiaan mengunjungi makam menjelang ramadan, juga bermakna melepas rindu kepada orang-orang terkasih yang telah pergi. Apalagi, jika pada tahun ini harus merasakan dan menjalani ramadan tanpa kedua orang tua lagi, seperti rekan saya.