Februari 2016, aku mengganti laptopku. Ketika aku menyalakannya, tampaklah layar dengan wallpaper gunung yang mungkin saja dipotret saat matahari menuju senjakala. Berbekal rasa penasaran yang tersembul dari layar monitor, aku pun mencari tahu nama gunung tersebut. Tak sulit tentu saja, cukup dengan mencocokkan foto di mesin pencari, beberapa detik sudah menghilangkan naluri ingin tahu tersebut, Machapuchare, namanya. Gunung berketinggian 6.993 mdpl yang disucikan ini tertutup bagi pendaki. Saat aku disuruh untuk menunaikan ibadah umroh, aku sempat menolak. Kukatakan jika bisa diganti, aku ingin sekali naik gunung ke Nepal. Dengan banyak pertimbangan, akhirnya kumemilih perjalanan ibadah. Hasrat mendaki ke jajaran pegunungan Himalaya, hanya kusimpan serapat mungkin.
Aku pernah baca entah di mana dan juga kata beberapa orang, Nepal artinya gunung. Walaupun makna tersebut tidak sesuai dengan etimologinya, tetapi coba perhatikan pada peta. Ia merupakan negeri yang kecil tersembul dari piramida pegunungan. Kemudian perhatikan secara vertikal maka akan nampak Nepal dalam jajaran atas negara tertinggi di dunia. Jadi dari penampakan tersebut, tidaklah keliru bila memang demikian interpretasinya.
November 2019, kuniatkan daftar untuk berangkat ke Annapurna. Annapurna yang merupakan salah satu "anggota" deretan Himalaya yang terletak di bagian barat Nepal, yang menurut beberapa referensi gunung ini The Tenth Highest and most dangerous mountain in the world. Menjadi gunung yang amat berbahaya untuk pendakian, tidak menyurutkan kehendak yang sudah kutebalkan dengan rangkaian sejumlah persiapan.
Mulai menabung, mencari tiket murah dan membeli, Sampai kupilih tgl 12 April 2020 akan berangkat. Rute keberangkatanku saat itu adalah BauBau---Makassar menggunakan wings Air, Makassar---Jakarta dengan Lion Air dan Jakarta---Kualalumpur---Kathmandu dengan Malindo Air. Dan sekali lagi manusia, hanya bisa berencana tapi Sang Maha Tahu yang akan menentukan ke mana arah kaki akan kupijakkan.
Hingga masuk tahun 2020 terkendala pada virus Coronawati yang membentuk pandemi atau plandemic Maret 2020. Kusebut Coronawati, supaya kondisi itu terasa hanya sejenis persaingan antarperempuan, hanya saja ia atau mereka berbentuk mikroorganisme patogen. Aku berfikir virus ini mungkin saja membuatku tidak akan berangkat dengan pasti. Lalu kuajukanlah refund ke OTA (Online Travel Agents) atau agen perjalanan online, dan akhirnya diberi voucher hingga Mei 2021. Tahun berganti, tahun 2021 kembali aku diberi voucher sampai memasuki Januari 2022, aku pun langsung ke kantor pusat Lion Air di Gajah Mada kusampaikan bahwa aku tak membutuhkan voucher. Kuminta danaku kembali dan tak menunggu berapa lama, semua dana pembelian tiket dikembalikan. Dua tahun niat itu tak berwujud, tetapi tak menyurutkan arah mata kakiku untuk menapak pada salah satu puncak ketinggian bumi.
Memasuki tahun 2022, aku mulai mencari info apakah Nepal telah membuka penerbangan internasional. Tak lupa aku sering menanyakan jadwal pendakian Annapurna Base Camp (ABC) ke open trip, sampai kupilih tanggal 1 ---10 November 2022. Mulailah aku mencari tiket murah. Awal September 2022, tiket perjalanan sudah ada dan langsung kukirimkan ke pihak open trip.
Sebelum pendakian ke ABC, kulakukan latihan fisik misalnya jogging, sepedaan, berenang, jalan kaki. Sebelum berangkat ke ABC, aku beberapa kali mengikuti event lari seperti pada: Juli, Pocari Sweat Virtual Run; Agustus, Bali maraton kategori Full Marathon; September, Borobudur Marathon Friendship Run dan Pelindo Run. Semua itu kuanggap sebagai latihan, meskipun event berakhir aku masih tetap latihan dan lebih banyak jalan dan lari. Dalam sepekan ritual ini kulakukan sampai tiga kali. Yang pasti olah fisik ini, kuyakin sangat bermanfaat saat pendakian. Satu lagi yang penting Asuransi.
Senin, 31 Oktober 2022, pukul 10.00 WIB aku pun berangkat menuju bandara SHIA di Tangerang, Banten. Tiba di sana, langsung menuju counter check in. Dan di sinilah drama dimulai. Saat memperlihatkan kode booking, petugas mengecek satu persatu halaman passportku langsung menanyakan visa ku mana. Kujawab visa apa? "Bukankah Nepal memerlukan visa?" petugas pun menjawab. Bukan di Nepal, tetapi visa transit di India. "What ...!" Aku kaget dong. Kutunjukkan beberapa referensi bahkan di website kedutaan India, tidak ada penjelasan terkait visa transit. Aku juga mengkontak pihak open trip, admin dari pihak open trip mengatakan tidak perlu visa, bahkan dia ngotot.
Sekali lagi, kumengambil langkah taktis kuhubungi kawanku Kaka Day, minta tolong dibelikan tiket. And then Alhamdulillah dapat, tetapi dengan harga selangit. Rutenya Jakarta---Kualalumpur---menggunakan Malaysia Airlines dan Kualalumpur---Kathmandu dengan Himalaya Airlines.
Namun melalui WA tidak ada bantuan sama sekali. Dia hanya mengatakan "Akan kukontak dengan mitra kerja kami di Nepal". Saat transit di Kualalumpur, aku menghubungi admin di Nepal. Nah, disinilah ketahuan bahwa admin open trip di Jakarta tidak berkonsultasi dengan admin di Nepal. Admin di Nepal mengatakan kepadaku, "Kenapa gak tanya saya?"