Oktober 2012 saat berada di Kabupaten Kotawaringan Barat, sempat berucap “Alhamdulillah selesailah aku mengunjungi semua propinsi yang ada di Pulau Kalimantan. Tapi, perkataanku saat itu langsung dibantah seorang kawan. Itu lihat di berita pemekaran pada Provinsi Kalimantan Timur. Tarakan pun masuk dalam Provinsi Kalimantan Utara.”
Saat aku membuat item rencana perjalanan, aku sempat “galau” antara opsi akan ke Kepulauan Riau ataukah Kalimantan Utara.
Rencana perjalanan telah aku susun, kakak-kakak senior dan adik junior yang berada di kedua provinsi itu telah aku kontak. Aku sampai membuat rute perjalanan, dan melengkapinya dengan berkonsultasi dengan Kak Adi Syam.
Perjalanan aku mulai dari Bau-Bau, transit di Makassar kemudian lanjut ke Tarakan. Tiba di Tarakan, dijemput oleh keponakan seniorku, Kak Andi Irfandy. Kemudian bersilaturahmi dengan senior Kak Rum, tentu pertemuan seperti diimbuhi dengan berbagai ragam bercerita.
Hari itu, Sabtu gerimis mengiringi langkahku ke pelabuhan. Tujuan utama menuju Pulau Sebatik. Biaya penyeberangan dari Tarakan ke Pelabuhan Sei Nyamuk yakni Rp.255.000 per orang dengan durasi perjalanan dua jam. Sebelum speedboat bertolak meninggalkan Pelabuhan Tarakan, para penumpang diharuskan memakai pelampung.
Aku bersyukur cuaca cukup bersahabat. Meskipun hujan, tetapi tak ada angin sama sekali. Aku sempat tertidur. Tiba di pelabuhan Sei Nyamuk, Sebatik, langsung menghubungi kenalanku, Ima.
Pulau Sebatik berada di sebelah timur Pulau Kalimantan. Sebatik merupakan salah satu pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia, yang tentu saja menjadi prioritas utama dalam pembangunan. Karena letaknya berada di perbatasan Indonesia dan Malaysia, menjadikan pulau ini sebagai daerah yang strategis dalam jalur lalu lintas antarnegara. Pulau Sebatik ini bukan hanya berbatasan darat, tetapi laut juga. Ada 16 patok perbatasan. Terkendala oleh keterbatasan waktu, aku mendatangi dua patok saja.
Di Sebatik, aku penasaran dengan rumah yang terletak di perbatasan. Teringat, saat itu aku menonton di salah satu stasiun TV swasta. Terlihat ada rumah yang ruang tamunya berada di Indonesia dan dapurnya berada di Malaysia. Dan memang rumah ini ada, bahkan aku bertemu dengan pemiliknya, Hj. Hajerah (77).
Sedikit cerita perlu kutuangkan tentang figur tersebut. Ia berasal dari Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan, kemudian pada 1975 meninggalkan kampung halamannya menuju Tawau. Kemudian, pada 1986, memulai usaha dengan membangun gudang penampungan cokelat gudang. Sampai sekarang dia masih memiliki keinginan untuk balik ke daerah asalnya, “lebih enak di kampung halaman sendiri,‘’ katanya memendam harapan lama yang belum terwujud itu.
Selain rumah perbatasan, aku juga mengunjungi tugu perbatasan yang bertuliskan NKRI Harga Mati. Jika aku masih punya waktu, tentu saja akan kujelajahi Sebatik. Seperti pulau-pulau lainnya, Sebatik memiliki potensi pariwisata yang layak untuk dikembangkan. Aktivitas masyarakat berbasis jasa itu, tentu saja akan meningkatkan pendapatan mereka.