Minggu, 11 Februari 2018 pukul 08.00 PM akhirnya kami (aku dan Aini Darafiyah NHJ) tiba juga di Phnompenh. Dari Ho Chi Minh City, kami menggunakan bus menuju Phnompenh dengan harga USD 10. Setelah melewati imigrasi, memasuki wilayah Cambodia, aku melihat Kasino, serasa di Las Vegas euy. Dari pangkalan bus, dengan menumpang tuk-tuk kami pun menuju penginapan.
Senin, 12 Februari 2018, pagi hari aku menyempatkan lari pagi di tepi sungai Mekong cukup 5 KM saja. Dalam perjalanan pulang menuju hostel, aku melihat restoran Indonesia yakni Bali Food dan ada tulisan Halal Food.
Dalam hatiku, makan siang disini aja. Tiba di penginapan, aku langsung mengutarakan kepada Aini tentang restoran ini. Dia setuju untuk makan siang di restoran ini. Menu makan siang kami yakni, dua nasi putih + satu tongseng sapi + dua es the manis. Kami juga berkenalan dengan pemilik restoran.
Namanya Bapak Firdaus. Beliau sempat bercerita, awalnya ke Cambodia ikut dengan duta besar dan bekerja di kedutaan Indonesia di Phnompneh sebagai koki.
Duta besar pertama dan kedua beliau masih ikut, sampai duta besar yang ketiga dia hanya bertahan selama enam (6) bulan. Setelah itu dia bersama kawannya membuka restoran. Tahun ini, genap 25 tahun beliau tinggal di Phnompenh. Saat akan berpisah beliau berpesan kepada kami, untuk berhati-hati. Jika akan naik tuk-tuk pilih tuk-tuk yang ada teralinya dan jangan main HP saat jalan banyak jambret.
Terik matahari tidak menyurutkan niat kami berdua untuk mengexplore tempat wisata di Phnompenh. Tujuan pertama yakni Museum Nasional. Museum ini menyimpan koleksi terbanyak dari kerajaan Khmer berupa patung, keramik, perunggu dan benda-benda etnografi lainnya.
Di dalam museum, pengunjung tidak diperbolehkan untuk memotret koleksi barang-barang. Jujur aku menyukai museum ini, bangunannya sangat cantik dan bergaya arsitektur Cambodia tradisional. Ough iya, malam hari di museum ini juga kami menyaksikan pagelaran.
Dari museum nasional, tujuan selanjutnya adalah Independence Monument. Monument ini terletak di bundaran yang menghubungkan jalan-jalan utama yaitu Norodom Boulevard dan Sihanouk Boulevard. Yang pasti, monument ini menjadi salah satu icon negara Cambodia.
Kemudian kami menuju, Royal Palace dan Royal Palace Park. Royal palace merupakan tempat tinggal raja Cambodia beserta keluarganya. Waktu itu Royal Palace sedang di renovasi, sehingga kami hanya nongkrong di park sambil menyaksikan burung-burung.
Malam hari, seorang kawanku saat kuliah dulu yakni Piseth Kim mengajakku menikmati malam di The D22/The H22- Tama Hotel Phnompenh Tower, tepatnya Skybar untuk melihta keindahan Phnompenh di malam hari.
Menutup perjalanan di Phnompenh, kami menyantap Som Lok. Som Lok ini ikan kuah kuning di dalamnya ada nenas, kacang panjangm tomat, cabe besar seger banget apalagi disantap dengan nasi panas. Maknyuss.
Selasa, 13 Februari 2018 sebenarnya dalam listku Killing Field tidak ada, sampai teman di penginapan menyebutkan tentang rencana dia yang mau kesana. Aku mengajaknya tuk share cost pakai tuk-tuk dan dia tidak mau.
Dia lebih memilih menyewa motor. Untuk ke tempat ini kami menggunakan tour. Informasi dari papan yang ada di depan travel USD 15/orang.
Pas booking dapat USD 10/orang. Di depan informasi juga tertulis jika pelajar (ID Card) free entry. Kami mengambil keberangkatan pukul 01.30 pm. Pas tiba di lokasi Killing Field, terpampang dengan nyata tulisan NO STUDENT CARD alhasil bayar karcis plus audio USD 6. Tapi aku cuman bayar karcis saja yakni USD 3 tanpa audio.
Masuk disini, pengunjung akan diperlihatkan tengkorak-tengkorak yang banyak sekali, baik itu tengkorak laki-laki dan perempuan yang diberi tanda, ada grave, juga movie room.