Lihat ke Halaman Asli

Sandiwara Radio

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miris rasanya jika mendengar komentar - terlebih dari orang-orang terdekat - yang meremehkan sandiwara alias drama radio.

Oh... masih ada, yak, sandiwara radio?

Er... Brama Kumbara? Raden Bentar?  Arya Kamandanu? Mei-Shin ...?

Wah, udah nggak kenal yang namanya radio, tuh. Dengerin aja jarang, apalagi muter drama. Mending nonton TV atawa nyetel film sendiri. Udah, habis perkara. Ngapain susah? Radio? Hare gene? Ahak-ahak... Kagak jaman keles!

Mungkin jika saya ini hidup pada era 70-80'an, apa yang saya (dan teman-teman) lakukan saat ini akan lebih dihargai. Curhat, nih, ceritanya. Sakit hati? Sedikit. Kecewa, ya. Patah semangat? No!

Mengapa saya harus miris? Saya beri tahu alasannya. Saya adalah seorang penulis naskah drama radio sekaligus pengarah dialog (bahasa kerennya dalam kasus ini adalah sutradara). Kenapa? Aneh? Ah, mungkin, hanya tidak biasa. Tidak bagi Anda, tidak pula saya. Ini bukan profesi saya. Belum. Tapi mungkin pada waktu mendatang ini akan jadi salah satu titik fokus saya. Percaya atau tidak, saya bahkan keluar dari pekerjaan reguler supaya bisa fokus menggali potensi diri dalam dunia penulisan. Hmm, langkah yang nekad? Mungkin. Saya hanya ingin melakukan apa yang saya sukai. Menulis naskah drama radio adalah salah satunya, meski saya masih belajar.

Nah, lalu apa masalahnya? Menjadi sulit bagi saya mengajak orang-orang sekitar untuk kembali mengenal dan memperhatikan sebuah benda bernama radio. Fungsi radio dalam era 'gadget-baru-tiap-bulan' seperti sekarang mungkin nyaris terlupakan atau sengaja ditinggalkan. Jangankan menyimak drama radio, mendengarkan lagu lewat radio saja mungkin tidak. Bisa jadi generasi 'cucu-cicit' saya nanti menganggap radio adalah sebuah benda purba atau bersejarah layaknya saya memandang komputer analog pada masa ini.

Jadi, ngapain susah-susah bikin drama radio segala? Gila! Mending bikin naskah ftv atau sinetron. Hasil plagiasi pun dihargai tinggi dan dianggap sebagai karya adaptasi berkualitas tinggi. Tak hanya itu! Bandingkan saja, berapa jumlah pemasukan yang bisa diperoleh? Membuat naskah drama serial televisi bersambung (1x kontrak biasanya 13 episode yang tentu dapat diperpanjang jika rating penonton dan sponsor banyak) bisa dihargai 2x lebih tinggi daripada mengonsep+menyusun naskah+menyutradarai drama serial radio 25 episode dengan durasi tayang/putar yang sama. Lumayan menggiurkan? Ya begitulah fakta yang saya hadapi sekarang.

Lalu kenapa tidak banting setir saja? Bikin saja naskah lalu jual ke rumah produksi. Kalau tidak dinakali, honor naskah itu sudah pasti lumayan. Dan itu pun honor ide-konsep dan menulis saja.

Sempat terlintas begitu. Tapi, saat ini saya sedang mengulas sandiwara radio yang sejak 2012 saya buat. Drama yang saya tulis dan diperdengarkan di Yogyakarta juga Papua, tepatnya Wamena. Meski kontrak terus diperpanjang dan permintaan terus ada, apakah sungguh-sungguh didengar dan dinikmati oleh khalayak, ya? Jujur saya jadi bertanya-tanya. Selama ini tidak ada tanggapan, adem-ayem saja. Bahkan adanya drama radio itu pun cenderung tidak diketahui.

Emang beneran diputar? Iya. Sungguh-sungguh drama radio itu diperdengarkan. Sejak tahun 2012 (resminya) naskah yang saya buat sungguh-sungguh diproduksi dalam arahan saya sendiri. Saya punya daftar judul dan salinan seluruh naskahnya. Tapi saya tidak dapat feed-back-nya. Apa yang dikatakan para pendengar soal drama-drama ini? Adakah yang mendengarkan? Adakah yang menikmati dan merasakan manfaatnya? Menghiburkah? Cukup edukatif atau informatifkah? Hingga saat ini, saya belum tahu. Terlebih orang-orang di sekitar saya sepertinya susah sekali diajak ikut mendengarkan drama radio. Alasan mereka seperti yang saya tulis di atas, sebelum ini. Tentunya masih banyak lagi dan rata-rata sumbang, tidak enak untuk didengar dan cukup membuat saya malas melihat mereka lagi. Sebal dan kesal boleh, dong. Wajarlah. Tapi bukan berarti saya membenci mereka. Justru sekarang saya masih berusaha mencari tanggapan dari apa yang sudah saya dan teman-teman lakukan. Apa yang kurang dari drama radio kami? Bukankah radio juga media untuk berekspresi dan mengeksplorasi talenta diri? Jadi, perkataan bahwa radio itu benda purba dan mendengarkan radio adalah kegiatan yang nggak jaman alias jadul bukan dalih dari 'malas-aja-dengerin-radio-hare-gene-geto-loh', kan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline