Lihat ke Halaman Asli

Pa-jak dan Pa-iman

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PAJAK DAN PAIMAN

Ini sebenarnya sebuah cerita lama. Adalah si Paiman yang kala itu tengah memasuki usia kepala tiga, seorang lugu yang sebenarnya miskin namun enggan untuk mengakuinya. Ia memiliki kegemaran nongkrong di warung kopi. Kalau anda bertanya-tanya, mengapa Paiman dapat bertahan berjam-jam lamanya di warung kopi, meskipun tiada yang menemani? Berarti anda belum mengenal Paiman dengan baik. Menurut Paiman, Eropa banyak menghasilkan filsuf karena budaya orang sana yang gemar menghabiskan waktu di kafe-kafe, sehingga banyak waktu yang terpakai untuk merenung dan berpikir.

Kali ini ia tengah melahap pisang goreng di piringnya secara perlahan, sembari menghirup kopi hitam dalam cangkirnya. Sayup-sayup dari radio mang ujang, penjaga warung kopi haji somad, terdengar berita tentang kerisuhan dan kekejaman terhadap warga muslim rohingnya di Myanmar (Burma). Dan tiba-tiba saja ia terpikiran dengan satu pertanyaan, pada dasarnya, sebenarnya pada kondisi alamiahnya, manusia itu mahluk seperti apa? Apakah ia makhluk yang penuh kasing sayang, seperti yang dikemukakan oleh Rousseau, ataukah ia makhluk yang kejam, gemar berperang, menghancurkan sesama, seperti yang dikemukakan Thomas Hobbes.

Paiman sih condong pada pendapat Hobbes-yang juga pernah diungkapkan oleh Frans Magnis Suseno bahwa keadaan alamiah itu adalah  seperti berada pada kondisi perang. selalu merasa takut ketika ada manusia lain yang memiliki lebih banyak kepemilikan daripada dirinya. Ia teringat kala dulu sewaktu mengaji di surau, ia diceritakan kisah malaikat yang bertanya-tanya kepada Tuhan terkait penciptaan manusia. Malaikat bertanya “Adakah Engkau (Ya Tuhan kami) hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah, padahal kami sentiasa bertasbih dengan memujiMu dan mensucikanMu?” Jadi Paiman sepakat kalau kondisi alamiahnya, manusia adalah makhluk destruktif.

Pemikiran Thomas Hobbes dan J.J. Rousseau dalam hal kontrak sosial memiliki kesamaan pada kesadaran untuk menghentikan keadaan alamiah tersebut agar dapat mewujudkan sebuah keberlangsungan hidup yang teratur dan damai. Ada suatu titik dimana manusia yang saling berperang tersebut menyadari bahwa jika mereka semua terus berperang, maka mereka semua akan hancur, tanpa terkecuali. Sehingga mereka berkumpul untuk membicarakan kemungkinan perdamaian, dan berupaya mencari cara untuk mencegah perang di masa datang.

Menurut ajaran hukum alam Hobbes, manusia bisa menjamin penjagaan diri mereka hanya saat mereka bersedia membuat perjanjian dengan orang lain dengan menghapuskan hak alamiah absolut mereka pada semua hal. Kontrak social tersebut bisa tercipta, karena manusia memiliki dorongan alamiah untuk mempertahankan dan melestarikan dirinya. Itulah kiranya yang menjadi argumen Hobbes. Kontrak sosial tersebut dibangun di atas tiga pilar filosofis, yakni pelestarian diri, kepercayaan, dan pajak. Ketiganya adalah simbol dari penyerahan kekuasaan kepada negara, atau yang disebut Hobbes sebagai Leviathan.

Kata Schmandt, dalam bukunya filsafat politik, pajak merupakan cerminan dari teori kontrak sosial seperti yang pernah dikemukakan oleh Hobbes. Karena dalam hal ini negara secara mutlak dan berkuasa penuh dalam menentukan aturan tentang diwajibkannya pajak bagi rakyat, maka disini terlihat kekuasaan negara dalam mengatur kehidupan rakyat.

Dengan adanya kontrak sosial, maka akan tercipta tatanan. Tatanan menjadi pondasi untuk terciptanya perdamaian dan kesejahteraan. Tanpa tatanan tidak akan ada perdamaian. Dan tanpa perdamaian tidak akan ada kesejahteraan. Perang dan konflik horisontal akan mewarnai eksistensi manusia. Sesuai sifat manusia, homo homi lupus bellum omnium contra omnes, menjadi serigala bagi orang lain. Pada akhirnya eksistensi manusia akan musnah, akibat perang yang diciptakannya sendiri.

Jadi, membayar pajak adalah suatu tindakan yang mencerminkan adanya kesadaran manusia sebagai mahluk yang memerlukan tatanan, guna menjamin eksistensinya sendiri. Membayar pajak juga mencerminkan kepercayaan sosial (social trust) yang menjadi dasar dari kehidupan bersama manusia. Taat pajak merupakan representasi dari kesadaran akan pelestarian dan eksistensi diri kita sebagai manusia, dan bukan sekedar kewajiban, apalagi keterpaksaan. Membayar pajak adalah suatu tindakan bermakna (sebagaimana tercantum dalam rumahfilsafat.com).

“Huwasyeeemmm iki!!!!!” pak Karwosutejo tiba-tiba datang dengan muka kusut, membuyarkan lamunan Paiman.

“Ada apa pak?”

“Itu loh mas iman, jalan desa depan rt 6 kan banyak bolong-bolongnya, ndak enak buat lewat. Nah rapat warga rt 6 kemaren udah sepakat urunan per kepala keluarga 100 ribu rupiah. Yah tapi itu loh, pak sagiman, pak untung, pak wahimin masih enggak mau embayar. Lah asalannya mereka enggak diajak rembukan. Mereka jarang lewat jalan utama rt 6 itu katyanya. Ya salah sendiri toh, undangan rapat sudah dikasi eh malah ga datang. Lah kalau masalah jarang lewat ya mbok ikhlasin aja toh 100 ribu, itung-itung shadaqah jariyah”

“terus piye pak?”

“Ya jadi naik iuran, 120 ribu per kepala. Untung warga yang lain pada mau, ga ngeyel”

“Herann saya, kalo yang seperti itu ribut, tapi kalo liat tetangga gak bayar pajak kok biasa-biasa aja ya.”kata Kang abik, yang juga seorang pegawai di KPP desa mandiri, yang sedari tadi duduk di meja sebelah, menanggapi cerita pak Karwosutejo.

“Maksudnya sampeyan opo tho?” kata pak Karwosutejo

“Ya sama kan pak, iuran warga untuk memperbaiki jalan, ya pajak juga iuran warga untuk membangun Negara. Kan ga semua orang mau membayar beban pelaksanaan negara, makanya pajak dipaksakan bagi semua orang. Tapi kalau kita melihat tetangga ga bayar iuran desa tapi menikmati fasilitas desa, kita jengkelnya bukan main. Coba kalau kita lihat tetangga sebelah ga bayar pajak dan menikmati fasilitas pembangunan negara, apa kita tetap jengkel”

Dalam ilmu ekonomi, barang publikadalahbarangyang memiliki sifatnon-rival dan non-eksklusif. Hal ini berarti konsumsi atas barang tersebut oleh suatu individu tidak akan mengurangi jumlah barang yang tersedia untuk dikonsumsi oleh individu lainnya; dan noneksklusif berarti semua orang berhak menikmati manfaat dari barang tersebut.

Karena sifat barang public tersebut, maka timbul masalah, tidak adanya keuntungan membuat orang-orang tidak mau (kalaupun ada sangat sedikit jumlahnya) untuk menyediakannya ataupun melestarikannya. Disinilah kontrak sosial berperan dengan cara menarik pajak dari masyarakat dan dana pengumpulan pajak tersebut digunakan untuk menyediakan barang publik.

“Ga bayar pajak, apa kata dunia” kata kang Abik seloyor meninggalkan warung kopi, tanpa lupa sebelumnya menyeruput kopi pak Karwosutejo.

“Ga usah apa kata dunia, sampeyan nyuruh bayar pajak malah nyeruput kopi saya” pak Karwosutejo ngedumel.

“Berapa mang?” kata Paiman

“Biasa mas, 10 rebu” jawab Mang Ujang

Sembari mengeluarkan dompet, terlihat oleh Paiman kartu NPWP di dompetnya

Sembari tersenyum bangga, ia bergumam “saya bayar pajak karena sadar diri, sadar ilmu, bukan karena malu digosipin dunia”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline