Bu, pada air susumu yang biru, rindu meraba-raba arah temu. Sebab jadi dewasa sungguh pilu, Bu.
Kucari-cari cinta di tiap kembara. Pada burung yang lupa sarang, pada kumbang yang tak henti isap nektar, pada kersik angin dan batu-batu jalan.
Tak kutemukan lusuh baju panjangmu hingga hari petang. Pun rambut matahari dan aroma asin keringat memanggul hasil ladang. Di manakah jalan surgaku?
Ingin kuceritakan tentang dunia. Tentang kemarau yang tak habis-habis meranggaskan mimpi berkasih sayang. Dunia tak serahasia kerut-merut wajahmu, sedang angan melemparku terlampau jauh, di pertemuan laut dan cakrawala dengan kemuning yang membuat wajah kian merah.
Di titik nadir, lamat-lamat mengalun suara tak merdu tetapi syahdu; suara Ibu. "Lelaplah di ceruk dadaku, seperti dulu."
Aku pulang, Bu. Pada air susumu yang deras mewartakan hidup!
10, Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H