Pengaruh globaliasi sudah memberikan berbagai dampak untuk Indonesia baik dari segi positif maupun negatif. Dapat dilihat dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, meningkatnya efektivitas dan efesiensi, perekonomian suatu negeri semakin meningkat, meningkatnya taraf hidup masyarakat komunikasi semakin cepat dan mudah berkembangnya dunia pariwisata.
Pengaruh globalisai juga memberikan dampak negatif bagi Indonesia pola hidup komsumtif, sikap individualistik, kesenjangan sosial, kurangnya peran masyarakat dalam penjagaan keamanan dan kedaulatan, perubahan pola pikir masyarakat serta mengerasnya identitas budaya.
Provinsi Aceh merupakan wilayah Indonesia yang berada di ujung bagian barat Pulau Sumatera. Negeri yang disebut juga Serambi Mekkah memiliki kebudayaan, adat istiadat, suku dan bahasa daerah yang beraneka ragam. Globalisasi memberikan dampak positif bagi kebudayaan aceh terutama pada bidang kesenian.
Seperti tari saman, ratoh jaroe, didong, tari likok pulo, rapai geleng, tarek pukat, mulai lebih dikenal oleh masyarakat dalam negeri maupun luar negeri sejak era digitalisasi, dapat dibuktikan dengan tari saman ratoh jaroe menjadi tarian pembukaan Asian Games pada tahun 2018.
Bahasa aceh menjadi salah satu kebudayaan yang perlu diperhatikan akibat terkena dampak gobalisasi, menurut fakta yang terjadi di lapangan masyarakat aceh mulai mengarah kearah budaya-budaya barat.
Dapat dilihat dengan pengunaan bahasa aceh yang sudah mulai terkikis dengan bahasa asing. Hilangnya kesadaran pada masyarakat untuk melestarikan bahasa aceh dapat mengakibatkan kepunahan bahasa.
Keberadaan bahasa daerah sangat penting dalam mempersatukan dan mempertahankan eksistensi wilayah. Bahasa juga merupakan salah satu identitas dalam perdaban bangsa.
Dikutip dari laman Republik Merdeka, Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman menyebutkan, "Era generasi muda sekarang enggan berbicara bahasa Aceh dan mempelajarinya. Banyak generasi mileneal lancar berbahasa asing, karena mereka lahir di era digitalisasi, hal ini dapat berefek pada terabaikannya bahasa daerah".
Bahasa Aceh di Ujung Kepunahan
Bahasa aceh di ujung kepunahan, patut menjadi alasan untuk mengubah mindset bahwa generasi muda aceh perlu mempertahankan bahasa aceh sebagai bahasa lokal dan indentitas keacehan yang kuat guna langkah awal untuk menjaga warisan seni dan budaya daerah. Berdasarkan data BPCB Aceh (2019), terdapat 13 suku dan masing-masing suku memiliki adat, bahasa tersendiri yang berbeda-beda yaitu; bahasa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, sigulai, pakpak, haloban, lekon dan nias merupakan sekumpulan bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat di provinsi Aceh, hal tersebut dapat menjadi potensi bahwa bahasa aceh memiliki keanekaragaman budaya yang masih perlu sangat diperhatikan dan terus dijaga oleh generasi-generasi selanjutnya.