Krisis Transportasi dan Guru Honor
Krisis transportasi di Kota Padang Panjang sudah aku alami sejak tahun 2002-2008. Ketika itu aku sebagai guru honor memberanikan diri mengambil rumah dari developer dengan moda SSS atau rumah sangat sederhana sekali.
Rumah ini dipesan dengan DP atau Dana Permulaan 3 jt saja. Kemudian angsuran per bulannya 680 ribu rupiah. Gaji suami saat itu 690 ribu rupiah. Sisa 10 ribu buat transportasi bekerja. Terus makan dan lainnya dari gaji honorku. Dengan mengajar 60 jam seminggu x 20.000 perjam. Jadi menerima bersih sekitar 800 rb setelah dipotong ini itu.
Mengajar 60 jam seminggu tentu butuh 3-4 sekolah. Masing-masing sekolah mengajar 20 jam. Yah, star dari pukul 06.30 hingga pukul 18.00. Kadang anak-anak masih tidur dibawa ke PAUD mereka. Bahkan saya masih ingat salah satu senior yang sudah PNS bertanya, "Berapa jam mengajar seminggu Buk Yu?"
"60 Jam, Pak!" Jawabku.
"Mudahan cepat lulus PNS. Nanti sudah PNS terasa nikmat mengajar cuma 24 Jam." Jelas beliau.
"Aamiin YRA."Jawabku.
Memang berat awalnya. Uang suami untuk bayar angsuran rumah, mengajar 60 Jam per minggu, dan merawat dua anak yang masih balita. Namun dijalani dengan sabar akhirnya terasa biasa saja. Terus ngucap 'Laa haula wala quwwata illa billahil aliyyil 'adziim.
Saat itu harga emas 400 ribuan per emasnya atau berat 2,5 gr. Hingga kini pun angsuran rumah KPR di mana-mana memang 1,5 emas per bulan atau setara 4 gr per bulannya. Tentu kami menggunakan jasa perbankan.
Bukan hanya angsuran rumah yang terasa berat saat itu dengan status guru honorku. Aku juga harus membayar penitipan anak-anak. Masing-masing anak membayar uang titipan 150 ribu per bulannya. Dua anak berarti 300 ribu.
Lagi harus dijalani karena hidup harus terus berlanjut. Ketika kami mengontrak rumah, 4, 5 juta pertahunnya, transportasi dari kontrakan ke PAUD anak dan sekolah, transportasi tak menjadi kendala karena angkot atau angkutan kota lewat di depan kontrakan.