Ketika Anak Bermental Korban dan Orang Tua yang Mulai Jompo
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita mendengar istilah victim mentality atau mentalitas korban. Anak-anak dengan pola pikir ini cenderung merasa dunia selalu tidak adil terhadap mereka. Mereka sering menyalahkan lingkungan, keadaan, atau bahkan orang lain atas kegagalan atau kesulitan yang mereka hadapi. Sebaliknya, introspeksi dan tanggung jawab pribadi sering terabaikan.
Namun, bagaimana jika fenomena ini terjadi di tengah keluarga yang orang tuanya mulai memasuki usia senja? Orang tua yang jompo membutuhkan dukungan fisik dan emosional dari anak-anak mereka, tetapi anak mereka yang bermental korban cenderung lebih fokus pada dirinya sendiri. Hubungan ini menjadi rentan akan konflik, mengingat orang tua semakin rapuh sementara anak-anak menuntut perhatian atau bahkan menyalahkan orang tua atas hidup mereka.
Mengurai Akar Mentalitas Korban
Mentalitas korban sering kali berakar dari pola asuh atau pengalaman traumatis. Ada kemungkinan bahwa anak merasa kurang mendapat kasih sayang atau dukungan emosional ketika kecil. Selain itu, lingkungan yang selalu melabeli anak sebagai pihak yang lemah atau tidak mampu juga bisa membentuk pola pikir ini.
Di sisi lain, orang tua yang mulai menua menghadapi keterbatasan fisik dan mental. Mereka mungkin merasa bersalah karena tidak bisa memberikan yang terbaik di masa lalu. Namun, di usia tua, mereka juga memiliki kebutuhan untuk didengar dan dipahami, bukan sekadar menjadi "tempat pelampiasan" keluhan anak-anak mereka.
Tantangan bagi Keluarga
Ketika anak dengan victim mentality tinggal bersama orang tua yang jompo, tantangannya adalah bagaimana menciptakan hubungan yang sehat dan saling mendukung. Tidak jarang anak-anak ini malah merasa bahwa mereka yang harus mengorbankan segalanya untuk orang tua, meskipun itu belum tentu benar. Akibatnya, mereka menuntut lebih banyak perhatian tanpa memberikan dukungan yang memadai kepada orang tua.
Orang tua yang mulai melemah fisiknya pun sering kali merasa bingung bagaimana menghadapi anak yang tidak berdaya secara emosional. Situasi ini memperbesar kemungkinan terjadinya sikap saling menyalahkan, sehingga hubungan keluarga menjadi renggang.
Mencari Solusi: Kolaborasi dan Kesadaran