Pelajaran di Balik Gerbang Sekolah
Di bawah sinar matahari pagi yang masih malu-malu menyebarkan hangatnya, Luthfi berdiri di depan gerbang sekolah. Pandangannya kosong. Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Hari ini adalah hari kedelapannya masuk di kelas barunya, kelas 9. Sebuah kelas di salah satu kota di Sumatera. Pilihan kelas ini bukan sepenuhnya keinginannya, tetapi lebih sebagai sebuah keputusan yang dipaksakan oleh keadaan. Keadaan dirinya sendiri yang bandel pas di kelas 8.
Luthfi tahu, di kelas ini, gurunya memperhatikan kedisiplinan dan aturan hal utama yang harus ia patuhi. Sosok guru-guru di kelas ini dikenal tegas, bahkan tak jarang ada yang keras dalam mengajar. Beragam cerita ia dengar tentang bagaimana ketatnya pengajaran di kelas ini.
Tapi, dari semua cerita itu, satu hal yang paling membekas di pikirannya: "Kau yang harus sabar dengan sikap gurumu, bukan gurumu yang harus sabar kepadamu maka di situlah letak keberkahan ilmu itu."
"Artinya, Ananda, murid yang harus sabar melaksanakan apa saja yang diperintahkan oleh guru di kelas. Bukan kami guru yang bersabar atas kesalahan dan ketidakfahaman Ananda dalam belajar." Terang guru Bahasa Indonesianya di kelas itu.
"Misalnya guru menyuruh murid mengulang menulis paragraf yang salah hingga tulisan murid rapi, paragraf sempurna dengan kalimat utama dan tiga kalimat penjelas. Meskipun mengorbankan berhelai kertas." Lanjut beliau kala itu.
Sebuah suara dari balik gerbang membuat lamunannya terpecah. "Baru sampai ya?" Seorang lelaki muda dengan wajah bersih dan berjambang tipis menyapanya dengan ramah. Dari nada bicaranya yang lembut, Luthfi tak menyangka orang itu adalah Pak Ridwan, seorang guru Bahasa Inggris yang terkenal tegas di kelas tersebut.
Pak Ridwan lalu mengangguk dan tersenyum tipis. "Di kelas ini, kamu akan belajar banyak, bukan cuma soal pelajaran, tapi tentang hidup." Tatapannya tajam namun penuh kasih. "Terkadang, ketegasan kami mungkin membuatmu merasa marah atau putus asa. Namun ingat, ketegasan itu bukan untuk membuatmu menyerah, tapi agar kamu kuat."
Luthfi hanya mengangguk pelan. Kata-kata itu tak sepenuhnya ia pahami, namun ada sesuatu dalam suara dan sikap Pak Ridwan yang membuatnya sedikit tenang.