Kepahitan Masa Kecil
Aisyah bangun lebih awal dari biasanya. Matahari masih malu-malu muncul dari balik horizon. Suara pertengkaran ayah dan ibunya pagi ini sudah terdengar dari ruang tamu.
Ia menarik napas dalam-dalam. Ia berusaha mengumpulkan keberanian untuk keluar sebelum meninggalkan kamarnya. Dalam hati, ia selalu berharap hari ini akan berbeda dari hari sebelumnya. Tetapi sayangnya, harapan itu pupus lagi. Hari ini masih sama seperti hari-hari kemarin.
Saat melangkah keluar, ia melihat ibunya duduk di sudut sofa dengan wajah penuh air mata. Pipinya juga terluka. Ibunya tampak berusaha menahan air mata itu.
Aisyah melihat itu merasa seolah hatinya diremas-remas. Ia tak tahu bagaimana bisa membantu. Tapi ia tahu bahwa ia tak bisa membiarkan ibunya merasa sendirian seperti ini.
Dengan lembut, ia mengelus punggung ibunya dan berkata, "Ibu, semuanya akan baik-baik saja." Ibunya pun mengangguk dan memeluk Aisyah.
Begitulah tiap pagi, sore, atau malam hari. Kepulangan ayah menjadi petaka untuk ibunya. Setelah beberapa saat, suasana mulai reda. Ia pun pamit berkemas kepada Ibunya.
Aisyah berkemas. Ia mengambil tas sekolahnya dan bergegas menuju sekolah. Ia meninggalkan kekacauan di rumah. Ia selalu berusaha tersenyum dan bersikap positif meski hidup terasa berat.
Setiap hari, ia bertekad untuk belajar dan menjadi lebih baik. Di sekolah, Aisyah selalu berusaha menjadi teman yang baik dan siap membantu siapa saja yang membutuhkan. Masalah di rumah tak membuatnya patah. Malah ia berusaha tegar. Meski ia pendiam di sekolah
Di sinilah perjalanan Aisyah dimulai. Di tengah kesulitan dan ketidakpastian, ia menemukan kekuatan dalam dirinya yang tak terduga. Meskipun masa kecilnya tak sempurna, pengalaman pahit dan berat yang dialaminya itu membentuk karakter dan keberanian yang luar biasa dalam dirinya.