Garis Batas Siswa dan Guru
Pagi itu, kelas 9B terlihat seperti biasa riuh, penuh dengan tawa dan keluhan kecil. Di sudut kelas, seorang siswi bernama Aira duduk terdiam. Biasanya ia ceria tapi hari ini matanya tampak kosong.
Seolah teman di sekitarnya tak ada. Tambahan lagi dunianya tak berwarna. Ibu Rosiana, wali kelas yang sudah bertahun-tahun mengajar segera menyadari ada yang berbeda hari ini.
Tanpa ragu, Ibu Rosiana mendekati Aira setelah kelas usai.
"Aira, bisa kita bicara sebentar?" tanyanya lembut.
Aira hanya mengangguk pelan. Mereka berdua menuju taman sekolah yang sepi. Mereka duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang. Suasana hening hanya suara burung yang terdengar dari kejauhan.
"Ada yang ingin kamu ceritakan, Nak?" Tanya Ibu Rosiana dengan penuh perhatian. Tidak ada tekanan hanya empati dan kesediaan mendengarkan.
Aira menarik napasnya dalam. "Bu, kenapa rasanya semua orang nggak paham aku? Bahkan di rumah, orang tuaku selalu bilang aku harus seperti kakak, pintar, disiplin, dan hebat dalam segala hal. Aku merasa seperti tak pernah cukup."
Ibu Rosiana terdiam sejenak. Beliau menatap Aira dengan penuh pengertian. Sebagai seorang guru, ia tahu persis bahwa setiap siswa punya jalan dan potensi mereka sendiri.
"Aira," ucapnya lembut, "kamu nggak harus jadi seperti orang lain, bahkan kakakmu. Kamu punya dirimu sendiri, identitasmu sendiri. Yang penting adalah bagaimana kamu menjadi versi terbaik dari dirimu."
Aira menatap guru itu. Air matanya mulai mengalir. "Tapi, Bu, rasanya susah. Aku terus dibandingkan dan aku marah pada mereka, juga pada diriku sendiri. Mengapa aku bodoh?"