Bubur : Debat Tak Berujung dan Citarasa yang Beragam
Travel Lokal Lidah-Bubur Kompasiana. Makanan sederha sih tapi tampaknya tak pernah kehilangan pesonanya di kalangan masyarakat Indonesia. Terutama warga Kota Padang Panjang, Sumatera Barat.
Makanan menarik, sobat. Yang menarik adalah bagaimana makanan ini sering kali menjadi topik perdebatan di rumah, di kedai kopi, terutama di siang bolong terik. Terutama soal cara menyantapnya, ini yang paling menarik.
Diaduk atau tidak diaduk? Itulah salah satu pertanyaan populer saat mulai menyantap kuliner pagi ini. Apa sih yang sebenarnya membuat perdebatan ini begitu sengit? Ya, karena ragu. Cara makannya gimana?
Bubur Diaduk vs Tidak Diaduk: Sebuah Dilema
Pertama, mari kita bahas kubu "bubur diaduk"
Mereka yang memilih mengaduk bubur biasanya beralasan bahwa ini membuat rasa bubur menjadi lebih merata. Sama rasa. Setiap suapan akan mengandung campuran sempurna dari nasi lembut, kuah, topping, dan bumbu. Bubur yang diaduk sering dianggap lebih kaya rasa karena seluruh cita rasa berpadu di setiap sendokan di lidah.
Kedua, kubu "bubur tak diaduk"
Mereka berpendapat bahwa keindahan makan bubur ketika lidah menikmati setiap elemen secara terpisah. Kuah yang mengalir di atas nasi yang masih terlihat, serta topping yang bisa dinikmati sesuai selera menjadi pengalaman tersendiri di tiap sisi yang dianggap lebih nikmat.
Ini kebiasaan putraku nomor dua. Ia tak suka bubur diaduk. Ia akan pilih sisi yang kurang menarik baginya dulu. Misal bubur kacang hijau, lanjut ke bubur agak menariknya, bubur hitam, lanjut ke bubur dalimo. Si pink ini memang digemari anak-anak.