Doom Spending dan Pinjol: Fenomena Konsumtif di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
Di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini, banyak orang merasa cemas dan khawatir tentang masa depan finansial mereka. Padahal rezki itu urusan Ilahi Rabbi.
Kondisi itu memicu berbagai respon dan emosional. Salah satunya perilaku yang dikenal doom spending. Perilaku seseorang berbelanja secara impulsif.
Konon katanya untuk meredakan kecemasan dan stres. Kalau aku biasanya makan kerupuk atau mie pedas. Mau belanja impulsif, dang hadong epeng. (Tak ada uang).
Perilaku ini umumnya dilakukan tanpa pertimbangan matang. Patut lo kita tiru prinsip orang Jepang belanja. "Tunggu 24 jam untuk memutuskan belanja atau tidak!"
Mereka matang berpikir. Tak terdorong oleh pesimisme terkait masa depan yang sering kali menjadi bentuk pelarian dari tekanan sehari-hari. Mereka tenang dan alon-alon.
Fenomena Doom Spending: Generasi Milenial dan Gen-Z
Doom spending sering dikaitkan generasi milenial dan gen-Z. Dua kelompok demografis ini yang paling terdampak oleh krisis ekonomi global dan perubahan sosial yang cepat itu.
Mereka tumbuh di era digital dan Covid-19 yang membuat mereka terekspos pada berita buruk terus-menerus. Ya, mulai dari isu perubahan iklim, krisis ekonomi, hingga ketidakstabilan politik.
Aliran informasi tidak pernah berhenti. Hal ini memicu rasa cemas yang berkepanjangan. Apalagi bila pondasi agama tak kuat pula. Maka untuk meredakan kecemasan tersebut, sebagian dari mereka memilih berbelanja atau shoping.