"Tak usah meneleponku lagi, Kak! Aku malas mengurusi kalian semua, toxic!" Itulah pembicaraan penutup adikku Kamal di telepon dua tahun lalu denganku.
Ya, adikku itu memutuskan hubungan silaturahmi di antara kami. Waktu itu, mama kami baru saja meninggal dunia. Atas saran Pak Etek (adik laki-laki) ayahku, kami dianjurkan membagi harta warisan. Apalagi Ayah kami pun sudah tiada sejak 15 tahun lalu.
Sebidang kebun, sebidang sawah, sebidang tanah dengan usaha heler padi, satu unit rumah, dan 45 emas perhiasan. Itulah peninggalan orang tua kami.
Peninggalan itu pun kami bagi sesuai rukun warisan dalam Islam. Bagian lelaki dua bagian perempuan. Karena warisan berbentuk tanah, maka dua orang adikku di antara kami berlima menjadi juru bayar. Salah satunya Kamal.
Meskipun pembagian sudah sesuai menurut syariat, tentu persaan berkecil hati tetap ada. Sebab di antara kami ada yang menuntut cepat dibayar. Sementara adikku Kamal belum siap. Inilah yang memicu perdebatan di antara kami kakak-adik.
Sudah dua tahun perselisihan itu terjadi. Sebagai kakak tertua mereka, aku sempat merasa sedih. Bila aku menelepon, tak pernah ia angkat. Bila aku pulang ke kampung, ia tak mau disapa. Ia cueks saja kepadaku.
Situasi ini dimanfaatkan pula oleh oknum-oknum yang merasa iri dengan istri kamal. Oknum-oknum itu sangat rajin menghubungiku. Mereka pun menggibah adik iparku. Untunglah aku jauh sehingga tak terpengaruh.
Perasaan sedih, hampa, dan merasa bersalah tak bisa kuhindari. Air mataku pun merembes bila mengingat keempat adikku. Tak ada yang mau mengalah di antara mereka. Seolah mereka bukan saudara kandung satu sama lainnya, dulunya.
Aku hanya bisa pasrah. Berdoa agar situasi itu berubah. Setiap ada kesempatan kucoba-coba juga mengunjungi mereka. Mudahan suatu saat mereka berubah. Masih terngiang pesan ayah kami.
"Suatu hari, kalian Kakak Adik akan pecah. Bertengkar. Anak wanita dipengaruhi suaminya dan anak lelaki dipengaruhi istrinya."