Pekerjaan Rumah (PR) dari Sekolah memberatkan siswa? Benarkah?
Jika pertanyaan itu kita ajukan kepada siswa yang malas, tentu jawabnya ya. Jika kita ajukan kepada siswa rajin dan pintar tentu jawabnya tidak. Malah siswa ini mengikuti les lagi di rumahnya.
Begitupun jika pertanyaan itu kita ajukan kepada orang tua siswa yang sibuk dan cueks dalam artian tak berempati kepada anak, tentu jawabnya ya. Jika kita ajukan kepada orang tua bijak dan acuh (peduli) ya pasti jawab mereka tidak.
Contohnya adik saya selaku orang tua ketika selesai maghriban, guru les anaknya tiba di rumah, pertanyaan pertamanya dan guru les, adakah PR, nak? Bahkan si bungsu dibedakan sekolahnya karena di sekolah si sulung dan si tengah sekarang menerapkan kurikulum luar negeri (Finlandia) yang meniadakan PR.
Kami belum percaya sekolah tanpa PR di SD. Sebab, ketika SMP kami ingin si bungsu mengikuti jejak kedua abangnya bersekolah di sekolah favorit. Di sekolah ini PR sangat banyak dan les pula.
Setelah itu ia ingin si bungsu bersekolah di SMA Favorit pula. Di sini apa lagi siswa sudah diperlakukan dewasa dengan presentasi ke depan kelas. Tentu semua itu butuh persiapan mental maupun fisik sejak SD.
Jadi PR memberatkan? Benarkah? Tergantung kondisi anak danorang. Di mana posisi Anda?Orang tua cueks dan sibuk atau orang tua bijak dan acuh?
Kalau saya selaku orang tua dan profesi guru yang berusaha memahami cara siswa belajar di kelas, setuju ada PR. Setiap jam bahasa Indonesia selesai, saya memberi anak PR.
Mengapa? Jujur, siswa kita saat ini berada pada posisi generasi Z dan Alpha. Generasi lahir antara 1996-2009 (disebut juga Generation, GenerasiNet, Generasi Internet) dan Generasi Alpha, dimulai dari tahun 2010 (akhir dari generasi masih ambigu dan belum di tentukan).
Generasi ini mengalami gonta-ganti kurikulum dan learning loss. Gonta-ganti kurikulum menyebabkan mereka tak memiliki buku teks untuk belajar. Meskipun sebetulnya buku lama bisa dipakai, tapi kecendrungan baca generasiNet berubah.