Semangat pagi buat kita semua.
Pagi ini kita bahas tentang antara Fakta dan imajinatif dalam sebuah karya fiksi.
Mereka mendebat di kelas. "Dosa dong buk menulis cerita fiksi?" Tanya mereka menatap saya tajam hingga terasa kikuk.
"Kenapa dosa menulis cerita fiksi?" Jawab saya memancing.
" Kan dosa Buk, mengatakan sesuatu yang tidak benar. Misalnya, kita bilang Paman si Andi yang mencelakai orang tua Andi. Padahal tidak." Jawab salah satu dari mereka sambil nyengir merasa saya akan kalah olehnya.
"Tak selamanya cerita dalam karya fiksi harus ada penambahan kasus sehingga harus bohong. Tak kita tambahpun dengan satu masalah baru yang direkayasa kisah itu juga boleh. Sah saja. Jika merasa itu suatu kebohongan tak usah masukkan. Ceritakan sesuai kisah sebenarnya juga boleh." Jawab saya membuat mereka diam sesaat.
Kenyataan inilah yang membuat sebagian siswa tak mau menulis karya fiksi, baik berupa cerpen, puisi, novel, dan naskah drama, film, dan sinetron.
Kita harus berpegang pada topik hiburan. Sebetulnya menulis fiksi hanya bersifat hiburan tak bisa kita kategorikan ke dalam karangan atau tulisan objektif, faktual, atau aktual apalagi obsevatif. Seperti laporan, berita, artikel, makalah, dan karya tulis ilmiah lain.
Dia hanya sebuah tulisan yang mengkolaborasikan antara fakta (konteks) dan mengubah fakta sesuai imajinasi pengarang. Fakta pada karya fiksi menjadi sumber cerita. Tanpa fakta apalah yang mau ditulis pengarang. He he he.
Misalnya si Andi anak pintar di sekolah. Ia yatim piatu pula karena ayah bundanya mengalami kecelakaan. Lalu pamannya yang merupakan abang ayah Andi memungut Andi di bawa tinggal bersama keluarga paman.