Merantau adalah kebiasaan kita orang Indonesia. Tepatnya urbanisasi. Perpindahan penduduk dari desa ke kota baik untuk mencari pekerjaan, mencari sekolah yang baik, maupun menemani anak yang sekolah atau sudah berkeluarga. Katanya sekedar menemani cucu.
Sejak adanya sistem zonasi yang dilayangkan pemerintah, pindah domisili bagi anak usia produktif 14 tahun ke atas dan di bawah usia produktif 13 tahun ke bawah menjadi pilihan.
Mereka pindah domisili dengan alasan ingin sekolah bermutu setara SMP, agar mudah melanjutkan ke sekolah bermutu setara SMA, dan kuliah di Perguruan Tinggi bermutu pula.
Sebetulnya di desa pun sekolah akan bermutu jika memang peserta pendidikannya juga bermutu. Ibarat batang singkong, asal ada tanah, ia pasti tumbuh.
Namun, alasan mereka bukan itu. Alasan mereka ke kota tertentu bersekolah karena fasilitasnya seperti berasrama. Lebih ekstrimnya karena menghindari pergaulan bebas di desa katanya.
Memang fenomena hari ini di beberapa desa di negara kita terindikasi adanya pergaulan bebas seperti seks bebas, narkoba jenis ganja, menghisap lem, narkoba jenis sabu, ugal-ugalan, geng motor, dan pernikahan dini karena kasus tertangkap basah pacaran di tempat umum oleh warga.
Di desa memang masih ada kesepakatan jika menemukan pasangan mesum harus dinikahkan.
Itulah beberapa alasan orang tua memindahkan domisili anak-anak mereka ke kota atau kita sebut merantau.
Di beberapa kota berjuluk kota pendidikan, para orang tua bisa menitipkan anak mereka kepada ibu kost yang juga merangkap guru anak tersebut di sekolah pilihan mereka. Di kosan ini anak terjaga karena ada guru sekaligus ibu kos yang mengawasi.
Di sekolah unggul yang sudah terkenal biasanya anak-anak didikan mereka pun anak-anak unggul. Istilahnya anak juara dan berprestasi.