Anak lahir ke dunia dalam keadaan suci. Ketika dia lahir berjuta harapan disematkan orang tuanya kepadanya agar kelak jadi anak berguna bagi agama, nusa, dan bangsa. Tapi kita orang tua sering melupakan sematan itu. Kita lupa harapan itu seiring anak mengalami perkembangan dari bayi menuju balita, batita, anak, remaja, dan dewasa.
Ketika mereka bayi, balita, dan batita kita jaga mereka bak menjaga porselen berharga mahal. Kita takut gores, retak, apalagi pecah. Tiap menit dikelonin dicarikan penjaga jika si ibu mau memasak atau sekedar mandi dan makan. Bahkan, ibu dan ayah menunda makan jika tak ada yang akan menjaganya. Begitu posesif kita kepada si bayi hingga batita.
Pun ketika usianya TK kita antar jemput ke sekoahnya. Kita carikan TK terbaik dengan transport terbaik jika tak sempat antar jemput. Tetap ayah ibu posesif kepadanya. Ia masih lucu, manis, dan menggemaskan kita selaku orang tuanya.
Begitu juga ketika dia duduk di sekolah dasar hingga kelas 6 masih juga kita kelonin dan sayang kepalanya. Dipeluk saat bertemu. Mereka senang. Mereka bangga kepada ayah ibunya. Idola mereka ayah bundanya.
Tapi ketika anak jelang remaja di kelas 7,8,dan 9 SMP/MTs mulailah kita orang tua merenggangkan hubungan, kelonan, ciuman dan pelukan kepada mereka. Perlahan anak merasa asing dengan ayahnya sendiri apalagi sama ibunya yang asyik dengan dunianya sendiri. Ya cari uang untuk wanita karir, shoping, dandan, kejar S2, S3, asyik dengan si dedek, dan keasyikan-keasyikan lain yang membuat ibu atau si bunda, si mama, si mami, atau si amak lupa.
Lupa bahwa si anak remaja sudah berubah. Bisa jadi tak tahu. Bisa jadi tak berilmu karena kurang literasi apalagi orang tua yang hanya berpendidikan SD dan SMP. Mereka hanya mengandalkan sekolah dan guru. Di siniah terjadi awal pergeseran karakter anak Dari awal baik dan sayang ke ayah ibunya , berubah menjadi cuek. Bahkan beberapa anak menghindari kontak baik mata, fisik, dan suara dari orang tuanya. Apa lagi jika anak sudah haid bagi yang perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki. Mulailah mereka merasa malu dan mulai menjelajah mencari jati diri.
Inilah masa penyebab kehancuran karakter si anak remaja. Ya anak asyik main handpone. Anak main handpone bisa berakibat peralihan karakter. Bisa saja anak membaca situs dewasa seperti novel dewasa. Bisa anak membuka foto-foto yang belum pernah kita kenalkan kepadanya. Foto vulgar yang memancing darah remajanya. Menonton film yang layak hanya ditonton si ayah bundanya. Paling aman mungkin hanya bermain game.
Itu dari segi pembiaran memakai handpone. Ancaman kemunduran dan pergesran karakter anak bukanlah dominan karena handpone. Malahan handpone ada masa jedanya anak mengantuk. Ini yang paling krusial. Pengaruh teman sebaya. Kita cuek kepada anak kita tapi teman sebayanya, kakak kelasnya, sopirnya, sopir angkot atau sopir busnya menaruh perhatian kepada anak kita. Kita cuek tapi orang luar sana gemes dengan alasan cinta atau naksir.
Terbayang oleh kita. Peran kita akan tergantikan oleh orang luar memeluk, mencium, dan menyalurkan nafsu haram mereka. Inilah yang kita sebut seks bebas. Predator anak remaja kita terutama kita yang punya anak gadis cantik jelita. Sudahkah kita bekali ia ilmu menjaga diri?
Penulis tertawa geli ketika salah seorang siswa SMP tetangga penulis bertanya. "Nte, ante pacaran dulu waktu SMP, nte?" Tanyanya dengan polos. Penulis jujur merasa serba salah menjawabnya. Dijawab jujur takut ia tiru. Dijawab bohong. Dosa. Tapi penulis jawab tidak pernah. "Syukurlah nte. Dila pun ndak ado pacaran do, Nte. Tapi kawan-kawan Dila pacarannya parah, Nte. Sampai ciuman."
Kaget pasti. Itulah realita pacaran anak 10 tahun lalu. Sekarang bagaimana? Jujur penulis termasuk anak remaja putri yang kehilangan sosok ayah bundanya ketika remaja.