Lihat ke Halaman Asli

Bias Gender dalam Media Sosial Instagram

Diperbarui: 13 April 2021   12:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada dasarnya semua orang sepakat bahwa pria dan wanita berbeda. Perbedaan yang terbentuk dalam masyarakat tidaklah wajar, tetapi sudah terjalin sejak lama. Setiadi (2018) menyatakan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara gender dan jenis kelamin (seksualitas), dan jenis kelamin lebih condong pada pembagian fisiologi atau biologis anatomi manusia. Konsep gender merupakan istilah yang digunakan untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan aspek sosial budaya, Gender merupakan atribut dan perilaku yang dibentuk melalui proses sosial. Label dari beberapa partai disebabkan oleh perbedaan konsep gender. Peran gender memberikan warna dan pengaruh untuk menentukan penggunaan objek tertentu.

Media sosial merupakan salah satu bentuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang komunikasi. Tidak diperlukan keahlian khusus, dan menggunakan media sosial sangat lah mudah (uses friendly). Hampir semua orang adalah pengguna berbagai platform media sosial, platform media sosial ini terus bermunculan dan memiliki kelebihan dan fungsi yang berbeda satu sama lain. Remaja menggunakan media sosial untuk bersaing dan menjadikan mereka remaja "up to date" dan dengan demikian menjadi pengguna aktif media sosial dengan mengunjungi tempat-tempat kelas atas, mengambil foto bersama teman, genre musik, film, dan buku populer.

Penggunaan media sosial juga menyebabkan perubahan gaya dan karakteristik komunikasi seseorang, hingga masuk ke dalam permasalahan yang berbentuk privasi. Beberapa orang cenderung menjadi pengguna media sosial yang sangat aktif. Bahkan, mereka kerap memposting terlalu banyak konten, mulai dari aktivitas sehari-hari hingga masalah pribadi. Ini dilakukan untuk menunjukkan eksistensinya kepada dunia luar. Pengguna media sosial sering berebut untuk menunjukkan dan membentuk branding mereka ke dunia luar. Melalui foto, video, dan pernyataan di media sosial, mereka berharap dapat menunjukkan dan mengarahkan pandangan yang mereka ingin gambarkan kepada orang lain. 

Pada penggunaan media sosial ini ternyata gender adalah satu-satunya variabel yang sangat signifikan berpengaruh dalam penggunaan media sosial, karena ada beberapa perbedaan antara pengguna media sosial laki-laki dan perempuan. Perempuan  melakukan empat sampai lima kali lebih banyak waktu untuk menggunakan media sosial dibandingkan dengan pria (Tufekci, 2008, hlm. 24).  Sheldon (dalam Sponcil & Gitimu, 2013, hlm. 352)  juga menemukan bahwa perempuan lebih menyukai media sosial untuk menjalin hubungan dengan keluarga dan temanteman,  melewatkan waktu, hiburan, akan tetapi pria lebih menyukai menggunakan media sosial untuk bertemu dengan orang baru. 

Menurut riset yang dilakukan oleh firma keamanan  digital, 76% dari 1.000 responden wanita yang berusia dibawah 30 tahun pernah mengalami pelecehan seksual secara online. Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terkungkung pada batasan seksual dan psikis, tapi juga penyempitan makna oleh opini publik, sehingga kebebasan untuk menyatakan jati diri terbungkam. Dalam hal penggunaan media sosial Instagram penyematan feminitas sebagai sifat perempuan yang seolah kodrati, kerap berujung pada pelabelan"baik" dan "tidak baik". Perempuan yang layak, sebagaimana biasa digaungkan oleh gambar-gambar kutipan seksis tersebut. Kata sifat "cantik" masih tetap diasosiasikan pada potret perempuan berambut panjang lurus, berkulit putih, dan bertubuh langsing atau montok. Memproduksi persepsi bahwa perempuan-perempuan lain yang bertubuh gendut, berkulit cokelat, maupun berambut keriting adalah perempuan-perempuan non-primadona. 

Banyak pula gambar yang memperlihatkan foto perempuan-perempuan berpakaian terbuka dengan penyertaan kutipan yang menjurus ke stereotipe seksual di dalam media sosial Instagram. Tidak berusaha menyudahi salah kaprah yang telanjur tertanam pada jalan pikir mayoritas masyarakat, banyak yang justru menyatakan bahwa penampilan seronok itulah yang menjadi bakal terjadinya pelecehan fisik. Bentuk-bentuk ajakan untuk chat yang menggoda dan mengganggu merupakan hal yang sudah biasa terjadi dalam konteks penggunaan media sosial.

Era digitalisasi dan informasi menuntut perempuan untuk dapat memahami dan menggunakan teknologi ini dengan bijak. Media sosial yang ada tentunya mempengaruhi kehidupan wanita, sebagaimana diketahui bahwa penggunaan media sosial didominasi oleh wanita. Seorang wanita mungkin suka berpakaian seksi sebagai bentuk otonomi atas tubuhnya sendiri. Dan laki-laki yang memahami kesetaraan gender tentu paham bahwa esensi perempuan melebihi anatomi fisik yang bisa memancing nafsu. Feminisme tidak serta merta mengubah posisi di mana wanita menyingkirkan pria dari podium teratas. Pemahaman tentang gender sangat dibutuhkan dalam beberapa kasus diskriminasi yang terjadi di Instagram, hal ini dapat dijadikan sebagai ideologi yang membebaskan, baik perempuan maupun laki-laki, untuk menentukan hidup mereka tanpa merasa tertekan oleh kendala sosial.

DAFTAR PUSTAKA 

Umar, N. (1999). Argumen Kesetaraan Gender. Jakarta: Paramadina.

Putri, E. (2019). Foto Diri, Representasi Identitas Dan Masyarakat Tontonan Di Media Sosial Instagram. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 3 (1), 80-97.

Lippa, R.A. (2005). Gender, nature, and nurture. Routledge.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline