“Eh, besok kalau libur Idul Fitri, mau kemana aja?”Tanya seorang teman sekantor saya.
“Mudik donk. Saya kan selalu mudik waktu lebaran. Kan banyak saudara berdatangan di rumah nenek saya...”, Jawab saya bersemangat.
“Lhohh.. Bukannya kamu non muslim? Kok ikut merayakan Lebaran?” Tanya dia heran.
“Jangan salah. Sejak saya bayi juga sudah terbiasa mengikuti kemeriahan Lebaran tiap tahunnya. Saya juga beli baju baru, keluarga saya juga bersilaturahmi ke tetangga. Kami juga belanja banyak makanan untuk dibagikan ke keluarga dekat. Malahan perayaan lebaran biasanya lebih heboh suasananya daripada perayaan Natal karena liburnya lebih panjang. Saya justru merasa beruntung karena selalu bisa merayakan dua hari besar agama dalam setahun, yaitu Natal dan Idul Fitri. hehehe”, jawab saya sambil tertawa lebar.
***
Itulah gambaran singkat tentang kehebohan keluarga saya menjelang hari raya Idul Fitri. Walaupun dibesarkan dalam lingkungan keluarga kristiani, saya pun turun mencicipi kebahagiaan hari raya Idul Fitri setiap tahunnya. Nenek dari ibu saya yang berdomisili di Klaten dan keluarga besar ibu saya hampir semuanya muslim sehingga keluarga saya pun selalu ikut merasakan kemeriahan Lebaran. Berbeda dengan keluarga Bapak saya yang memag berasal dari keluarga Katolik.
Oleh karenanya, rasa toleransi kami sangatlah besar dalam keluarga. Tidak ada yang namanya fanatik. Tidak ada yang saling menjelekkan agama lain. Bahkan kami saling mendukung dan mengingatkan ‘waktunya beribadah’ kepada anggota keluarga yang beda kepercayaan saat kumpul bersama.
Saya menyebut ini sebagai toleransi yang membawa keharmonisan dalam keluarga besar kami. Sejak kami kecil pun (saya dan sepupu), kami sudah saling berbaur satu sama lain. Saya memiliki seorang sepupu (beda agama) yang kebetulan sama-sama berdomisili di Jogja. Saat dia kecil dulu, dia selalu ikut keluarga saya untuk menjalankan ibadah di gereja setiap minggu.
Kami tak pernah memaksa atau mengajaknya dengan sengaja agar ikut kami ke gereja. Karena kedekatan kami, dia selalu ‘nginthil’ kemanapun keluarga saya pergi, termasuk ke gereja. Dia makin senang ikut ke gereja karena di pintu gerbang depan gereja, setiap minggunya selalu dipenuhi dengan banyak penjual makanan dan mainan yang mungkin pada saat itu sangat menarik perhatian banyak anak kecil, termasuk kami berdua.
Selain keluarga saya yang selalu ikut merayakan lebaran, kami pun selalu mengundang keluarga kami yang muslim untuk datang ke rumah saat malam perayaan natal. Gemerlap lampu natal di salah satu sudut ruang tamu beserta hidangan kue-kue yang enak selalu menyambut mereka saat datang ke rumah kami. Mereka tak ada rasa sungkan saat berada di rumah kami. Kami justru bisa berbaur satu sama lain tanpa memandang bahwa kami bebeda iman. Ucapan selamat natal pun selalu kami terima dari mereka sehingga kami dapat menyatu sama sama lain dalam kebersamaan dan toleransi antar umat beragama.
Di tahun 2015 ini, kemeriahan dan persiapan untuk menyambut hari besar Idul Fitri tentu sudah sangat terasa sejak awal bulan Ramadhan. Saya juga merasa beruntung ketika berada di bulan penuh berkah ini. Walaupun tak ikut berpuasa, saya suka ikut-ikutan berbuka puasa dengan berbagai menu spesial. Sudah menjadi tradisi, setiap bulan Ramadhan para penjual kuliner menjamur dimana-mana sehingga saya pun selalu ikut memanjakan perut untuk memilih berbagai kuliner sedap yang bisa dibeli di setiap sudut jalan manapun. Tak ketinggalan, Ibu saya pun selalu ikut-ikutan memasak sambal goreng dan ketupat sayur untuk menyemarakkan malam Idul Fitri setiap tahunnya.