Lihat ke Halaman Asli

Riana Dewie

TERVERIFIKASI

Content Creator

Ketika Saya Hidup dari Doa-doa Mereka

Diperbarui: 31 Desember 2020   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika saya hidup dari doa-doa mereka (dok.pri)

Kira-kira jam 11 malam, saya membalas sebuah pesan WhatsApp seorang kawan. Ya, sepertinya sudah tiga jam ia menunggu balasan saya. Saya sendiri sedang disibukkan dengan nge-pack beberapa makanan ringan sisa hasil jualan saat bulan Ramadhan di tahun ini. 

Isinya sangat remeh, sebungkus capcay jawa, teh panas dan juga cilok dimana ketiganya masuk dalam sebuah plastik tipis berwarna hitam. Hanya ada lima paket makanan yang saya bagikan di hari itu.

"Malam-malam gini keluar rumah, dari mana mbak?", balasnya setelah menerima pesan dari saya sekitar jam 23.30 WIB. Akhirnya saya bercerita bahwa saya mengirim makanan ringan untuk mereka yang masih beraktivitas di tengah malam. 

Sebagian memulung benda-benda yang mereka temukan di jalanan, sebagian lagi para penjaja makanan yang malam itu tampak sepi pembeli.

Berbagi Seremeh ini, Pantaskah?  

Walau telah berbagi dengan yang lain, ada sedikit kesedihan di hati karena tak bisa memberikan lebih. "Itu menjadi berkat buat mereka. Kalau mbak gak kasih, mana bisa mereka makan capcay malam ini", ucap teman saya mencoba memberi penghiburan. Ya, kata-kata teman saya memang tak salah karena plastik hitam itu mereka sambut dengan penuh sukacita.

Lapak tempat jualan kami saat Ramadhan tahun ini (Dok. Riana Dewie)

Wajah yang berbinar, bahkan ada pula yang langsung menanyakan apakah ada minuman didalamnya. Setelah saya menganggukkan kepala, salah satu ibu yang menerima paketan itu segera membuka kresek, dikeluarkannya sebungkus teh dan segera ia meminumnya dengan tempo cepat; seperti kehausan setelah memulung ditemani sepeda tuanya. 

"Terimakasih mbak, semoga lancar rejekinya, dari tadi ibu nih kehausan, gak ada lagi minuman di botol...", ucap si ibu dalam bahasa Jawa dengan nada lirih.

Tetesan air mata jatuh begitu saja di pelupuk mata. Ya, saya tak bisa membayangkan, bahkan hanya sekedar air saja, mereka seperti mendapat harta karun. Semenjak itu saya semakin menyadari, bahwa apa yang menurut saya remeh, bisa jadi sangat berarti bagi orang yang membutuhkan.

Semudah ini ya ternyata berbagi? Tak harus dalam nominal besar, apalagi serba mahal. Asal dilakukan dengan hati yang tulus, mereka juga akan menerima dengan senyum yang tulus pula. Terimakasih telah mengajarkan kepada saya bahwa hal sederhana pun bisa membawa bahagia.

Belajar Arti "Ketulusan"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline