Lihat ke Halaman Asli

Riana Dewie

TERVERIFIKASI

Content Creator

Polowijan, Sudah "Diuwongke" Sejak Zaman Dulu

Diperbarui: 1 November 2018   07:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Polowijan, sebutan unik kaum difabel di zaman dulu (Dok.Pri)

Beberapa hari lalu (24/10/18), saya adalah satu dari sekian orang yang terpilih untuk mengikuti acara akbar Temu Inklusi #3, Menuju Indonesia Inklusif 2030 melalui inovasi kolaboratif di Desa Inklusi, Desa Plembutan, Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta. 

Bisa saya sebut bahwa ini pestanya teman-teman difabel dari seluruh penjuru kota karena saat berinteraksi dengan mereka, beberapa menginformasikan bahwa mereka ada datang dari Jakarta dan juga kota-kota lainnya.

Seorang ibu dengan motor roda tiganya, menyapa saat saya ada di salah satu booth inklusi. Saya tanya asalnya, ternyata dari Jogja. Wow, lumayan jauh.

Saat saya tanya ke sini naik apa, ditunjuknya motornya tersebut dengan bangga. Saya tertegun dan menyiratkan rasa hampir tak percaya dengan kegigihan beliau yang melewati jalan naik turun pegunungan (Gunung Kidul) sendirian dengan motornya.

"Saya bisa karena terbiasa mbak....", katanya sambil bersemangat. "... dan terpaksa.... hahaha...," lanjutnya sambil tertawa lebar.

Ini baru keren, kata saya dalam hati. Bagi saya, ini pengalaman yang sangat luar biasa. Ribuan teman-teman hebat ini bisa bertahan hingga hari ini karena semangatnya yang tak pernah padam.

Bagaimana tidak, saat ini tak semua orang bisa menghargai keberadaan mereka. Diskriminasi sering terjadi, apalagi jika ada syarat 'harus sehat jasmani dan rohani', sudah pasti mereka tersisih, dalam hal apapun. 

Nah, menanggapi fenomena ini, kebetulan saya bersama tim ditugaskan mengikuti acara bersama kawan-kawan difabel ke sebuah balai desa, dimana bangunan limasan kuno berdiri gagah menyambut kedatangan kami.

Tak banyak yang bisa kami lihat di sana, kecuali hamparan sawah yang luas dengan tanah gersangnya. Ya, gersang karena di kota Jogja dan sekitarnya memang belum mendapat guyuran hujan secara adil.

Ki-ka: Haji Imam, Kang Herman dan moderator (Dok.Pri)

Perkembangan 'Polowijan' di Nusantara

Gersang dan ketidakadilan, itupun yang setidaknya menjadi poin dari lokakarya bertema "Agama, Budaya dan Difabel" yang saya ikuti siang itu. Kebetulan salah satu narasumbernya adalah seorang pemerhati dan pelaku budaya, Herman Sinung Janutama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline