Beberapa hari ini, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengadakan Festival Seni Budaya Klasik yang dimulai pada tanggal 17 hingga 20 Desember 2014. Acara ini diadakan setiap tahun. Tak seperti tahun-tahun lalu yang hanya melibatkan tarian dari Kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman, tahun ini Festival Seni Budaya Klasik juga diikuti oleh para penari dari Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran, Kraton Kacirebonan, Kraton Kasepuhan, Kraton Kanoman serta Kraton keprabon.
[caption id="attachment_383908" align="aligncenter" width="360" caption="Sumber : pendidikan-diy.go.id"][/caption]
Rabu siang (17/12), para Bregodo atau prajurit Kraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman mengawali prosesi Kirab Budaya dalam rangka meramaikan Festival Seni Budaya Klasik ini di Pura Pakualaman. Kirab bregodo yang terdiri dari beberapa pasukan seperti Plangkir dan Lombok Abang tersebut melintasi perjalanan mengelilingi Benteng Kadipaten Puro Pakualaman yaitu dari Puro Pakualaman menuju Jalan Mangunsakoro, Jalan Gayam, Jalan Bausasran, Jalan Gajah Mada kemudian ke Jalan Sultan Agung dan kembali ke Puro Pakualaman.
Dari harian Kedaulatan Rakyat disebutkan bahwa Festival budaya klasik ini diadakan sebagai bentuk melestarikan budaya klasik dari 8 Kraton di Jawa. Pesertanya berasal dari 8 Kraton dari Jawa yaitu Yogyakarta, Pakualaman, 2 dari Kasunanan Surakarta dan 4 dari Kraton Cirebon, seperti yang telah disebutkan diatas. Diharapkan pula, melalui acara festival budaya klasik ini nantinya akan terjalin kembali persaudaraan dalam hal kebudayaan dari seluruh Kraton yang ada di Jawa. Selain itu, masyarakat juga diharapkan semakin memahami tentang kebudayaan masing-masing keraton yang menyimpan banyak nilai seni dan sejarah.
Hari Kamisnya (18/12), diadakan rangkaian acara yang berbeda dari sebelumnya. Hari itu, di Gedong Donoworo yang masih berada di area Pura Pakualaman, diadakan pameran benda pusaka, batik dan kuliner yang semuanya itu menjadi simbol dari daerah tarian yang dibawakan pada hari itu pula, yaitu Tari Gambyong dari Pura Mangkunegaran, Tari Beksan Nandheg Langendriyan dari Pura Pakualaman dan Tari Beksan Wireng Kakung dari Kraton kasunanan Surakarta.
[caption id="attachment_383958" align="aligncenter" width="491" caption="Gerbang Masuk Pura Pakualaman, Yogyakarta (Dok.Pri)"]
[/caption]
Saya yang penasaran dengan Festival Seni Budaya Klasik ini akhirnya datang untuk menikmati tarian-tarian klasik di Pura Pakualaman pada Kamis malam sekitar pukul 20.00 WIB. Sesampainya disana, saat akan memasuki gerbang Pura Pakualaman, kami disambut oleh barisan prajurit yang berjaga di depan. Karena takjub dengan suasana Kraton ini, akhirnya saya minta berfoto dengan beberapa dari mereka sebagai kenang-kenangan.
[caption id="attachment_383954" align="aligncenter" width="491" caption="Saya Berfoto dengan Prajurit Kraton (dok.pri)"]
[/caption]
Masuk di area Pakualaman, di bilik bagian kiri terdapat pameran benda pusaka berupa motif batik tulis dari beberapa daerah dan pos panitia yang melayani informasi tentang acara festival budaya ini. Semakin ke depan, banyak kendaraan roda dua dan empat yang terparkir di dalamnya, tanda bahwa acara sudah dipadati pengunjung umum, berbagai media yang sengaja meliput acara, para tamu undangan (VIP) serta para penari yang sudah siap untuk meramaikan acara ini. Namun sebelumnya, di sore harinya, sekitar pukul 15.00 hingga menjelang maghrib telah diadakan acara pembukaan berupa musik Thek Bung Kembaran BTL, Tari Montro Kauman Pleret BTL serta Keroncong Swara Wani yang ditampilkan dengan begitu meriah di Alun-alun Sewandanan, bagian luar dari kawasan Pura Pakualaman.
Seperti yang telah disebutkan diatas, pada Kamis malam (18/12) ditampilkan 3 tarian Jawa yang mendatangkan kekaguman para pengunjung yang hadir disana. Berikut informasi singkat yang dapat saya rangkum tentang tarian-tarian tersebut :
1. Tari Gambyong dari Pura Mangkunegaran
Tarian ini dimulai pukul 20.00 WIB. Tarian yang ditampilkan oleh 7 wanita cantik dengan pakaian kemben adat jawa dan sampur (selendang) warna kuning ini sangat menarik perhatian seluruh hadirin yang ada disana. Meringkas dari web pusakapusaka.com, saya mendapatkan informasi tentang tari Gambyong dimana makna ini juga dijelaskan oleh MC dari acara Festival Seni Budaya Klasik ini pada kamis Malam (18/12) :
Tari gambyongmerupakan salah satu dari bentuk tari tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah. Tari gambyong merupakan hasil dari perpaduan tari rakyat dan tari keraton. Asal mula kata ‘Gambyong’ awalnya merupakan nama dari seorang waranggana atau wanita yang terpilih (wanita penghibur) yang mana pandai serta piawai dalam membawakan tarian indah serta lincah. Sejarah dari Tari Gambyong yang berasal dari Jawa Tengah tersebut juga bisa diartikan sebagai tarian yang bersifat tunggal yang dapat dilakukan oleh wanita atau penari yang memang dipertunjukkan sebagai permulaan dari penampilan tari atau bisa disebut pesta tari. Perkembangan tari gambyong tahun 1980-an merupakan perkembangan penting dan yang paling pesat. Hal ini ditandai pula dengan semakin banyaknya bentuk dari sajian yang memodifikasi dari unsur-unsur gerak dengan adanya perubahan volume, tempo, kualitas gerak, dinamik, dll.
[caption id="attachment_383922" align="aligncenter" width="491" caption="Tari Gambyong (dok.pri)"]
[/caption]
[caption id="attachment_383949" align="aligncenter" width="491" caption="Tari Gambyong (dok.pri)"]
[/caption]
[caption id="attachment_383923" align="aligncenter" width="491" caption="Tari Gambyong di Bangsal Sewatama (dok.pri)"]
[/caption]
2. Tari Beksan Nandheg Langendriyan dari Pura Pakualaman
Setelah Tari Gambyong selesai dibawakan sekitar 30 menit, tarian berikutnya yang ditampilkan adalah Tari Beksan Nandheg Langendriyan. Pada tarian ini kembali menampilkan 9 wanita cantik dengan kostum berbeda, dimana warna bajunya merah hati dilengkapi dengan sampur motif warna merah serta aksesoris di kepala. Selain itu, mereka juga digiring oleh empat wanita emban (pengasuh di Kraton) dengan usia yang lebih tua. Untuk makna dari tarian ini sendiri, saya belum menemukan datanya di google. Namun informasi yang dapat saya simpulkan setelah menyaksikan tarian ini di Pura Pakualaman adalah bahwa tarian ini mengandung makna dari 2 kubu yang bermusuhan, salah satunya mengajak perang dan berusaha menyakiti yang lain (dengan simbol keris yang dibawa penari) namun penari yang diserang tersebut justru menghindar dan berusaha menciptakan perdamaian diantara keduanya. Tarian Beksan Nandheg Langendriyan ini ditampilkan dengan durasi lebih lama daripada tarian yang pertama.
[caption id="attachment_383924" align="aligncenter" width="397" caption=" Tari Beksan Nandheg Langendriyan (dok.pri)"]
[/caption]
[caption id="attachment_383928" align="aligncenter" width="491" caption=" Tari Beksan Nandheg Langendriyan (dok.pri)"]
[/caption]
[caption id="attachment_383931" align="aligncenter" width="491" caption=" Tari Beksan Nandheg Langendriyan (dok.pri)"]
[/caption]
[caption id="attachment_383929" align="aligncenter" width="491" caption=" Tari Beksan Nandheg Langendriyan (dok.pri)"]
[/caption]
3. Tari Beksan Wireng Kakung dari Kraton kasunanan Surakarta.
Ini adalah tarian terakhir yang ditampilkan. Berbeda dengan dua tarian sebelumnya dimana semua penarinya perempuan, Tari Beksan Wireng Kakung ini ditarikan oleh 4 orang penari laki-laki (dalam bahasa jawa, kakung artinya laki-laki) dengan 4 kostum berbeda, diantaranya adalah kostum Gatot Kaca. Dari web kotamanusia.wordpress.com, saya mendapat informasi bahwa Tarian Beksan Wireng Kakung ini ditampilkan untuk mengenang heroisme Pangeran Sambernyawa dan 18 ksatria setia. Tari wireng di Mangkunegaran banyak diciptakan sesuai kebutuhan kerajaan dan karakter penguasa. Mangkunegara I sudah berperang sejak usia 16 tahun. Keahlian tempurnya yang tertuang dalam karya tari yang diciptakan sungguh menghadirkan kekaguman. Perlu diketahui bahwa tarian itu digunakan sekaligus untuk berlatih senjata perang. Pemrakarsanya adalah Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa), sang pendiri kadipaten. Kepahlawanan beliau mempengaruhi perilaku penduduk Mangkunegaran. Semangat juang tinggi beliau ( semboyan “Tiji Tibeh” dan Tri Darma ), tercermin dalam karya tari. Sebagian besar berbentuk wireng, yang diciptakan untuk mengenang para pahlawan perang.
[caption id="attachment_383932" align="aligncenter" width="461" caption="Tari Beksan Wireng Kakung (dok.pri)"]
[/caption]
[caption id="attachment_383933" align="aligncenter" width="491" caption="Tari Beksan Wireng Kakung (dok.pri)"]
[/caption]
[caption id="attachment_383935" align="aligncenter" width="491" caption="Tari Beksan Wireng Kakung (dok.pri)"]
[/caption]
[caption id="attachment_383939" align="aligncenter" width="491" caption="Tari Beksan Wireng Kakung (dok.pri)"]
[/caption]
Semua tarian diiringi secara langsung oleh gamelan. Setiap tarian memiliki penabuh gamelan dan penyanyi sinden masing-masing yang dibawa dari daerahnya, sesuai dengan tarian yang ditampilkan.
[caption id="attachment_383950" align="aligncenter" width="410" caption="Salah satu penabuh gamelan di Festival Seni Budaya Klasik Yogyakarta (dok.pri)"]
[/caption]
[caption id="attachment_383951" align="aligncenter" width="491" caption="Deretan Penambuh Gamelan dan Sinden di bangsal Sewatama, Pakualaman (dok.pri)"]
[/caption]
Sekitar jam 22.00, acara telah usai dilaksanakan yang diakhiri dengan salam penutup oleh Bapak Margono selaku MC dari acara ini. Masih ada 2 hari lagi rangkaian acara Festival Seni Budaya Klasik ini yang akan diadakan tanggal 19 dan 20 Desember 2014, tentunya akan menampilkan berbagai tarian kalsik lainnya yang tak kalah menariknya, seperti tari Bedaya Bedah Madiun, Tari Niti Rasa, Tari Topeng Klana, Tari Sekar Keprabon, Tari Batik dsb. Bahkan di hari terakhir akan diadakan pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk di alun-alun Sewandanan yang dimulai pukul 21.30 hingga pagi.
Ditemani udara dingin dan tanah basah setelah diguyur hujan, akhirnya kami berjalan meninggalkan Pura pakualaman ini bersama dengan para pengunjung lainnya. Saat hendak keluar, kembali kami disambut oleh barisan prajururit yang berjaga di gerbang pintu Pura pakualaman ini. Untuk menghangatkan tubuh, akhirnya saya mampir membeli wedang Ronde di depan gerbang keraton.
[caption id="attachment_383945" align="aligncenter" width="491" caption="Prajurit Kraton (dok.pri)"]
[/caption]
[caption id="attachment_383948" align="aligncenter" width="491" caption="Prajurit Kraton (dok.pri)"]
[/caption]
Demikianlah informasi yang dapat saya sampaikan. Semoga Festival Seni Budaya Klasik yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan DIY ini semakin menambah wawasan masyarakat tentang tari-tarian Kraton dari beberapa daerah di Jawa dan mengetahui makna positifnya untuk dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata kita sehari-hari.
Semoga Bermanfaat,
Riana Dewie
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H