Lihat ke Halaman Asli

INDRIAN SAFKA FAUZI (Aa Rian)

Sang pemerhati abadi. Pemimpin bagi dirinya sendiri.

Mengapa Kepamrihan Bisa Terjadi?

Diperbarui: 13 Agustus 2023   19:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pamrih (Pixabay.com, kreasi: geralt)

Berbagai fenomena sosial terutama di media sosial sering terjadi. Seperti misal ada orang yang berharap vote dan balas komentar di konten dirinya dari sesama pengguna platform sosial, juga ada yang berharap follow balik dan sebagainya, tanpa ada ketulusan karena benar-benar ingin mengapresiasi murni dari hati terdalam yang memang dirasakan kebermanfaatannya. Dan contoh lainnya seperti jika ia menawarkan pertolongan, ia berharap kepada orang yang ditolongnya untuk mendapatkan upah berupa materi, seakan pertolongan yang diberikannya adalah sebuah bisnis, bukan murni karena benar-benar ingin menolong.

Seakan keberhargaan diri itu berasal dari simbol-simbol dunia (diluar diri kita sebagai Makhluk Allah), bukan dari diri kita sendiri yang sejatinya berharga dimata sang Pencipta.

Jadi mengapa bisa terjadi seperti hal diatas? Inti dari permasalahan kepamrihan adalah karena seorang berharap kepada selain Tuhan Yang Maha Esa, ia bisa jadi berharap kepada makhluk.

Sementara kita ketahui makhluk itu memiliki potensi yang sedemikian terbatasnya, pasti ada celah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan makhluk lain pada dirinya.

Hanya Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki kemampuan tertinggi untuk memenuhi segala harapan makhluk-makhluknya, dari kebutuhan pokok sampai keinginan luhurnya (keinginan positif demi Rida-Nya). Namun itu juga tidaklah gratis, mesti ada pembuktian iman melalui perbuatan tulus kita yang hanya berharap Rida-Nya semata.

Orang-orang yang menyekutukan Tuhan dengan Makhluk-Nya memiliki tabiat berharap lebih kepada sesamanya ketimbang kepada Penciptanya. Akibatnya kepamrihan terjadi. Jika harapan-harapan orang-orang pamrih itu tidak dipenuhi maka dirinya telah kufur dengan mengingkari nikmat yang Tuhan berikan, kemarahanpun terjadi meluap-luap, tak elak hujatan, cacian, makian dan umpatan dilontarkan karena merasa tidak sesuai dengan harapannya. 

Apabila harapan itu tidak diwujudkan, maka orang-orang pamrih itu seakan menuntut apa yang jadi haknya kepada seorang yang dipuja dan dikaguminya melebihi kepada sang Pencipta. Seakan tabiat penjilat melekat pada orang-orang pamrih.

Esensi pada pengetahuan ini, agar kita tidak termasuk orang-orang yang pamrih, hingga terjerumus dalam lembah kekufuran. Lantas bagaimana cara agar kita tidak termasuk orang pamrih? Yakni berharaplah Rida Tuhan Yang Maha Esa semata disetiap langkah kita baik secara perkataan, sikap dan perbuatan, kita wajib membuktikan kualitas kita dengan perbuatan tulus hanya karena-Nya. 

Sejatinya mekanisme kita mengharap rida Tuhan, kita wajib mempresentasikan bahwa diri kita itu berharga dibanding apa-apa yang ada diluar diri. Apa-apa yang ada diluar diri itu, sebutlah dengan istilah "simbol", nah hindarilah fokus pikiran pada "simbol-simbol dunia" tersebut seakan seperti "pakaian kebesaran" kita didunia. Tanamkan kita sudah besar karena kita diciptakan oleh Yang Maha Besar, kita lebih besar dibandingkan pakaian kebesaran dunia, karena Tuhan menciptakan kita dengan segala potensi yang sangat berharga untuk kehidupan. 

Jadi sejatinya orang-orang pamrih itu ada permasalahan dengan keberhargaan dirinya sendiri, dan ia menganggap bahwa simbol-simbol dunia adalah identitas keberhargaan dirinya. Jika simbol itu meninggalkan dirinya, maka dirinya merasa tidak lagi berharga. Kalau orang yang sudah tulus, pasti menganggap dirinya berharga, karena keberhargaan diri inilah ia selalu berharap Rida Tuhan Yang Maha Esa di setiap langkahnya.

Bisakah penulis memberikan contoh relevan seperti apa orang-orang yang mengharap Rida Tuhan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline