Lihat ke Halaman Asli

INDRIAN SAFKA FAUZI (Aa Rian)

Sang pemerhati abadi. Pemimpin bagi dirinya sendiri.

Menuju Tata Kelola Emosi yang Baik dengan Mengkritisi Diri Sendiri

Diperbarui: 16 Oktober 2022   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Good! (Sumber: Freepik)

Ketika keyakinan, nilai-nilai dan referensi hidup kita (yaitu pemikiran kita) disinggung orang, bahkan di-judge keliru, disanalah emosi negatif seperti kemarahan seakan menguasai kita. Rasanya ingin uring-uringan yang pernah saya rasakan pribadi.

Pengalaman hidup itu saya jadikan pelajaran berharga. Saya pernah menulis satu artikel yang menggambarkan kondisi saya dengan marah di akun Kompasiana sebelumnya (By the way, akun sebelumnya milik saya masih eksis di Kompasiana). 

Saya introspeksi diri dan mulai bertanya sebenarnya apa yang melatarbelakangi saya emosi?

Maka pertanyaan-pertanyaan untuk mengkritisi pikiran sendiri pun diajukan.

  • Apakah emosi yang muncul ini bisa menyebabkan permasalahan pada diri ini?

  • Kalau ternyata emosi yang saya luapkan bisa menyebabkan permasalahan pada diri sendiri. Apa yang melatarbelakangi emosi saya muncul? Apakah karena pemikiran saya disinggung dan dinyatakan keliru?

  • Mengapa bisa disebut keliru pemikiran saya? Apa memang benar-benar pemikiran kita yang keliru? Atau seorang yang menghakimi saya keliru yang sesungguhnya keliru?

  • Jika seandainya pemikiran saya sarat kebermanfaatannya namun di hakimi keliru oleh seorang? Lantas apa gunanya saya emosi? Bukankah itu akan menunjukkan dirinya semakin membenarkan perbuatan dan ucapnya? Bukankah lebih baik membiarkan dan memberikan ruang dan kesempatan kepada seorang tersebut untuk menyadari kebermanfaatan dari pemikiran saya suatu saat nanti?

  • Jika seandainya pemikiran saya memang benar-benar keliru. Kenapa saya pertahankan? Apa alasan saya mempertahankan pemikiran yang merugikan diri saya sendiri? Bukankah lebih baik kita berterima kasih pada seorang yang mengkritisi diri saya yang keliru agar menjadi seorang yang kembali di jalan yang benar? Kenapa saya jadi emosi kalau saya memang benar-benar keliru?

Setelah semua jawaban itu didapati. Maka rasakanlah perbedaan kondisi emosi yang dirasakan diri kita.

Apakah ada yang berbeda?

Jika kita menjadi makin sadar dan terbebas dari segala kemarahan, kesedihan dan emosi negatif lainnya. Maka kita sukses menaklukan emosi diri kita sendiri. Ini menunjukkan diri kita berkuasa atas pikiran kita sendiri.

Mantap!

Kita bisa mencoba simulasi untuk membuat diri kita emosi, dengan membayangkan peristiwa hidup yang pernah dialami dan terasa menyakitkan untuk diingat. 

Lalu coba ajukan pertanyaan diatas. Nah, jika terjadi sesuatu yang "Wah!" Seperti kita menemukan hikmah dari kejadian masa lalu tersebut. 

Selamat!

Kamu berhasil memenangkan dan menaklukan emosi dirimu sendiri, dan berhasil menjadikan masa lalu tersebut sebagai pengalaman berharga untuk dijadikan pelajaran yang membantumu kelak hari-hari kemudian.

Nah... yang perlu dihindari ketika berhadapan dengan seorang yang ber-emosi negatif. Jangan sekali-kali bertanya "Kenapa Kamu Emosi?" ini hanya akan memperkeruh suasana, dan seorang yang kita tanya tersebut malah semakin dikuasai oleh emosinya, karena makin membenarkan dirinya untuk emosi dengan alasan-alasan pembenaran atas emosinya tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline