Sebelumnya, tulisan ini terinspirasi dari sebuah novel berjudul The Interpretation of Murder, karya Jed Rubenfeld, yang saya baca versi terjemahan bahasa Indonesia-nya dalam bentuk e-book.
Sekilas, novel tersebut mengisahkan tentang kunjungan Sigmund Freud ke Amerika bersama dengan muridnya, Carl Jung (murid yang kelak jadi rivalnya). Kunjungan Freud dan Jung ke Amerika tersebut tak lain adalah dalam rangka memberikan kuliah-kuliah psikoanalisis. Kemudian, di tengah-tengah tour mereka selama di Amerika, Freud dan Jung dipertemukan dengan sejumlah tokoh-tokoh fiktif dan mereka dilibatkan dalam sebuah kasus pembunuhan misterius. Sepanjang cerita, dalam upaya untuk mengungkap misteri dibalik pembunuhan itu, nuansa psikologis dan praktik-praktek psikiater menjadi syarat pengantar jalannya cerita, seiring dengan terungkapnya berbagai motif-motif rumit dan tersembunyi yang melatarbelakangi kasus pembunuhan misterius tersebut.
Dalam artikel ini, saya tidak akan membedah kisah dalam novel tersebut secara keseluruhan, melainkan saya hanya akan membahas sedikit hal terkait sandiwara tragis Hamlet, karya sastrawan Inggris terkenal, William Shakespeare dengan sedikit pendekatan psikoanalisis Freud, sesuai judul artikel. Yang kebetulan dalam novel tersebut sempat sedikit disinggung.
**
Dalam ketidakberdayaan Hamlet bersamaan dengan dirinya yang tengah dilingkupi oleh perasaan bimbang, termanifestasi dalam sebuah monolog terkenal “to be, or not to be”. Hamlet yang bimbang dalam keinginan untuk menjatuhkan putusan, antara betindak atau tidak bertindak. Karena masing-masing dari kedua putusan tersebut memiliki konsekuensi tersendiri yang akan Hamlet terima. Jika ia memilih untuk bertindak, itu sama saja berarti bahwa ia memilih untuk hidup (to be), namun hidupnya akan penuh dengan penderitaan atas kepengecutan-nya yang hanya bisa pasrah dan menyerah kalah terhadap keadaan yang ada. Sebaliknya, jika ia memilih untuk tidak bertindak, itu sama artinya dengan mati (not to be), mati dalam hal ini terkait dengan keberanian dan semangat untuk melawan keadaan yang ada.
Hamlet yang tengah dirundung bingung dalam menjatuhkan putusan untuk bertindak atau tidak bertindak. Pada masa-masa bimbangnya itu, jiwanya bergejolak, ia depresi, sampai suatu ketika ia mengalami kelumpuhan. Dan kelumpuhannya itu berlangsung hingga Hamlet benar-benar mampu untuk membuat satu keputusan yang pasti dan jujur.
Dalam pengamatan secara psikologis, ekspresi bimbang dan ragu-ragunya Hamlet yang termanifestasikan dalam suatu bentuk monolog “to be, or not to be”, ini mengandung kesan ganjil yang seolah ada pesan tersirat di baliknya. Dalam drama tragis Hamlet tersebut, pada mulanya dikisahkan bahwasanya, ayah Hamlet yang merupakan seorang raja Denmark, ia dibunuh oleh adik kandungnya sendiri bernama Claudius (paman Hamlet). Setelah Claudius berhasil membunuh ayah Hamlet, ia lalu menikahi ibunya, Ratu Gertrude. Dan secara otomatis, Claudius pun naik tahta menjadi raja Denmark menggantikan posisi ayah Hamlet.
Pada suatu ketika, Hamlet dihantui oleh arwah ayahnya yang kemudian menyuruh Hamlet untuk membalaskan dedamnya terhadap Claudius karena telah membunuhnya. Hamlet pun akhirnya bertekad untuk membunuh pamannya, Claudius. Walaupun diakhir cerita, Hamlet berhasil membunuh pamannya dan ia sendiri pun akhirnya tewas. Sikap ragu dan bimbangnya Hamlet dalam monolog tersebut tetap masih menjadi misteri. Kiranya hal apakah yang menyebabkan Hamlet ragu dan bimbang ? Dan mengapa ia tidak sanggup memutuskan untuk bertindak cepat dan langsung membuat keputusan ?
Bahkan dikisahkan pula bahwa Hamlet sempat berpura-pura menjadi gila dan bahkan ia juga sempat membuat suatu panggung pementasan dan mengundang sejumlah aktor untuk memainkan sebuah kisah yang ia karang sendiri, terkait dengan pembunuhan seorang raja. Semua tindakan tersebut jelas Hamlet arahkan untuk mencari perhatian pamannya. Suatu sikap yang dapat dinilai pengecut, seolah Hamlet takut untuk berhadapan langsung dengan pamannya.