Dalam satu coretan kasih terurai kata CINTA yang berlumuran air mata kepedihan. Hari yang terus berganti nama, walaupun suasana tak berganti, namun kau tak pernah membuka mata hati untuk meneropong kesengsaraan diriku dalam duka. Apakah kau berpura diam dalam ketidaktahuan? Atau kau sengaja membisu melihat air mata CINTAku yang yang membasahi tanah yang tak berdosa ini?
Saya tidak juga apatis dalam merekam jejak yang berentakan. Siapa pun dirimu yang sedang gelisah dalam kepahitan, kupastikan kau adalah saudaraku. Sudahkah kau mengusap air mata CINTA dikedua keningku? Atau kau sedang bersembunyi dalam diammu?
Tidak...!!! Kau hanya sengaja membisu dalam kemunafikan. Kau hanya sengaja bersilat lidah dalam kebenaran yang berujung penghiatan. Ah....sungguh biadab kau tertawa dalam ketidakadilan ini. kau hanya pandai beretorika untuk membodohi orang bodoh. Namu, mereka yang arif sedang menertawakan omong kosong itu.
Sampai detik, saya sedang menghitung tutur kata yang berisikan air lendir kepahitan. Kau sungguh hebat, hinga saya menuliskan narasi kecil berjudul setetes air mata CINTA. Mungkin kau adalah inspirasi yang membuatku menghadirkan pikiran terbuka. Ah...saya berterimakasih, karenamu saya mampu mengumpulkan diksi yang awalnya berhamburan.
Masih kupantau.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H