74 tahun negaraku tercinta merayakan hari kemerdekaan dengan sangat meriah. Pesta rakyat dalam meriahkan hari kemerdekaan dikala itu juga menjadi pelengkap kemeriahan hari merdeka. Namun, Negeriku belum merdeka dari kegelapan di malam hari.
Di suatu malam, di sana terlihat anak bangsa yang sedang belajar demi meningkatkan mutu pengetahuannya. Di sana, di balik gedek bambu, di bawah atap rumah alang, Si tua dan anak-anaknya melewati malam yang senyap dengan gelap gulita.
Cucunya duduk bertiarap mencoba menyoretkan sehelai kertas putih kosong dengan bantuan cahaya pelita dari kaleng bekas.
Si anak SD itu, mulai mengurai kata-kata dengan menarikan sebatang pensil bekas. Mengukir dan menerangkan gambarnya dengan senyum yang terpancar di malam itu.
Malam semakin sunyi, suara jangkrik menghibur malamnya dengan sanak saudaranya. Ibu dan ayahnya hanya mampu memancarkan senyuman dari kegelapan ketika melihat anaknya yang cantik dan ganteng menikamti belajar dengan cahaya lampu pelita itu.
Merah kekuning-kuningan, itulah cahaya yang dikeluarkan oleh api pelita itu.
Malam yang senyap, dirinya seakan menikmati cahaya pelita itu dengan penuh makna. Bahkan derasnya angin seakan cemburu dan berusaha memadamkan api lampu pelita itu ketika melihat dirinya semakin bergairah dalam belajar.
Angin pun tak kuasa memadamkan cahaya lampu tua dari kaleng bekas itu.
Aku sadar, kisah anak itu membawa inspirasi baru dalam hidupku. Mengapa tidak? Kisah anak itu mengajarkanku arti perjuangan yang sesungguhnya, dari celah diding itu kurasakan angin yang begitu kencang yang hendak mengintip cahaya lampu pelita itu.
Ya... Indonesia memang sudah merdeka, tapi tidak bagi anak kecil yang hidup dipinggiran kota itu. Jalan yang sunyi, hitam pekat malam membuat suasana semakin senyap. Tak seperti di kota, jalanan pun sudah terhiasi lampu-lampu yang modern. Tapi tidak bagi kampung anak itu.