Seumur-umur diguncang gempa dahsyat 9.0 SR, terseret tsunami 10 meter dan selamat? Namun itulah yang dialami Aji, Juru Masak sebuah kapal ikan Jepang Kinemaru yang sedang berlabuh di Kesennuma-shi, Prefektur Miyagi. Saat itu, 11 Maret 2011 jelang pukul 15.00. "Baru saja, kami selesai makan siang," papar Aji asal Tegal membuka cerita. Di saat membereskan peralatan makan, wisma tempat 33 ABK (Anak Buah Kapal) bersandar diguncang gempa dahsyat yang kemudian diketahui 9.0 Skala Richter. Sepuluh menit setelah itu, sirene peringatan tsunami meraung di sepanjang pantai.
"Pemilik kapal segera mengajak kami menaiki kapal. Dan saya diminta secepatnya membereskan peralatan dapur," tambah Aji. Menurut perkiraan, dengan ke tengah laut maka gelombang tsunami tidak akan membahayakan. Namun belum lagi ABK menaiki kapal, sirene tsunami meraung kembali. Pemilik kapal segera memerintahkan lari menjauh.
Aji yang saat itu sudah siap beranjak ke kapal, kembali membereskan peralatan dapur yang terjatuh berantakan karena gempa susulan kedua. "Pikir saya, kalau tsunami setengah meter atau tiga meter kita sudah biasa." Namun perkiraannya kurang tepat. Di tengah menaikan panci, telinganya mendengar suara gemuruh lalu air mulai membasahi mata kakinya. Lalu naik lebih atas lagi. Tidak menunda waktu, Aji langsung menaiki tangga menuju lantai dua. Sempat dilongoknya jendela, dan sungguh terperanjat. Air sangat tinggi. "Saya langsung naik ke atas genting, di lantai tiga!"
Dengan hitungan detik, bangunan wisma terhempas gelombang tsunami. Terapung mengikuti arus. Dengan Aji di atasnya. Namun malang tak dapat ditolak untung tak bisa diraih, bangunan wisma terhenti tak berapa lama, terhalang oleh bangunan hotel yang masih berdiri tegak tak jauh dari bangunan wisma berdiri. Di situ, Aji berjam-jam di bawah hujan salju tanpa mantel tanpa sepatu. Kedinginan. Terkurung air. Udara menunjukan di bawah 4 derajat.
Sementara itu, 32 teman ABK lainnya sudah berada di teras hotel yang terletak di atas bukit. "Pukul lima sore, kami sudah ingin turun mencari Aji," tutur Tomo, salah satu ABK. "Namun pemilik kapal melarang karena dirasa belum aman." Baru kira-kira pukul delapan tengah malam itu, Tomo dan kawan-kawan menyusuri jalan mencari lokasi wisma berada. Sementara Aji tengah melangkah di antara genting dan reruntuhan.
"Akhirnya kami bertemu," tutur Tomo. "Saya bawakan sandal yang saya temukan di jalan. Namun Aji menolak karena bukan miliknya." Tanpa alas kaki mereka bersama-sama menapaki genting. Di antara reruntuhan terdengar suara meminta tolong. Mereka melongok ke bawah dan melihat ibu tua di atas kursi roda selamat di dalam rumahnya. Bendera merah yang diikatnya di sebatang kayu dikibarkannya di antara genting-genting yang runtuh. "Luar biasa sekali ibu tua itu," desah Tomo dengan mata berkilat.
Di saat bersamaan tak jauh dari lokasi 33 ABK itu berada, sejumlah pekerja wanita Indonesia di sebuah perusahaan ikan juga tengah berjuang menjauh dari tsunami. Saat tsunami hendak menelan seluruh kapal dan bangunan di sepanjang pantai Kesennuma, mereka tengah membersihkan telur ikan dan mengemas daging ikan. Sirene yang meraung menyusul gempa kedua kalinya itu hanya berbeda beberapa menit saja dengan gulungan ombak. Seluruh pekerja wanita dan pemilik perusahaan itu berhasil lari ke atas bangunan yang sengaja dibangun pemda setempat untuk mengantisipasi gempa dan tsunami. Di gedung terbuka itu, mereka menyaksikan gelombang tsunami yang dahsyat menggulung apa saja. Rumah, pepohonan, mobil bahkan tiga kapal besar puluhan ton yang terseret ke arah mereka.
Mereka panik luar biasa. "Kami spontan menyeru Allahu Akbar! Allahu Akbar!" cerita Mei asal Jawa Tengah. "Kita betul-betul takut, Bu seandainya tiga kapal itu menabrak bangunan tempat kita berdiri."
"Semua orang Jepang bingung melihat kami." "Namun Allah Maha Mendengar sesaat sebelum benar-benar dekat dengan kami, dua buah kapal besar itu membelok ke kanan dan satu kapal lainnya ke kiri," tambahnya dengan mata berbinar.
Tsunami belum lagi surut. Api berkobar di mana-mana. "Kami terkurung air dan api, Bu," papar Mei dan Rena. Suasana betul-betul menegangkan. Maka ketika air perlahan menyurut mereka beranjak meninggalkan tempat itu beramai-ramai. Hujan salju, udara yang dingin dan perut yang kosong tidak menjadi penghalang untuk mencari tempat penampungan, sebuah sekolahan.
"Sepanjang jalan, kami memunguti makanan kaleng yang terbawa tsunami," tutur Mei kembali. Dan beberapa hari di tempat penampungan itu, air minum dan makanan sangat terbatas. "Onigiri kami bagi dua. Biskuit satu keping kami bagi ramai-ramai."