Lihat ke Halaman Asli

"3 in 1" dalam Budaya Organisasi

Diperbarui: 4 Januari 2018   22:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

helwigagency.com

Pada suatu petang saya berbincang-bincang dengan salah seorang pejabat di Kantor Pusat, sebut saja namanya Pak Bambang. Pak Bambang ini sebelumnya adalah seorang pemimpin di unit bisnis yang sudah sangat berpengalaman dengan segudang prestasi keberhasilan. Kepemimpinannya terbukti sukses sehingga ia dipromosi ke Kantor Pusat. Baru sekitar 2-3 bulan ia pindah ke Kantor Pusat, ia sangat heran sekali kenapa proses pengambilan keputusan sangatlah lambat. Karena menurutnya, dalam bisnis itu selalu ada risiko dan keputusan bisnis harus cepat diambil. Bayangkan saja, di perusahaan Pak Bambang itu, transaksi hariannya dapat mencapai 1 milyar rupiah. Jika 1 hari saja tidak ada keputusan bisnis, itu sama saja artinya perusahaan kehilangan kesempatan mendapatkan uang 1 milyar rupiah per hari.

Dalam curhatannya kepada saya, Pak Bambang mengeluhkan kenapa ya di perusahaan ini banyak sekali pejabat setingkat saya, punya pola pikir yang berbeda-beda, sehingga kita sulit sekali mendapatkan kata sepakat, sehingga tak pernah ada keputusan yang bisa diambil menjadi aksi nyata. Rupanya Pak Bambang sadar bahwa saat ia menjadi pemimpin unit bisnis, ia adalah orang nomor 1, segala sesuatu dapat ia putuskan sendiri. 

Saat ia di Kantor Pusat, proses pengambilan keputusan lebih stratejik dan lintas fungsi/ lintas bidang, perlu koordinasi dan kesepemahaman dengan pejabat setingkatnya. Mungkin akan menjadi mudah koordinasi tersebut apabila masing-masing pejabat memiliki pola pikir atau frekwensi yang sama. Akar masalahnya terletak pada pola pikir yang berbeda.

Mengapa pola pikir bisa berbeda? Dari manakah datangnya pola pikir tersebut? Pola pikir berasal dari yang namanya pengalaman, dan pengalaman tersebut bisa berasal dari pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain. Pengalaman pribadi dapat berupa pengalaman kerja baik sukses maupun gagal, sementara pengalaman orang lain dapat berupa pendidikan yang diajarkan dari guru, atasan, teman kerja, atau tim kerja. Pola pikir yang terbentuk itu lah yang kemudian menimbulkan persepsi, dan dari persepsi menimbulkan pikiran. 

Dari pikiran kemudian menimbulkan perasaan, dan dari perasaan menimbulkan perilaku. Perilaku tersebut dapat berupa perbedaan sikap dalam mengambil keputusan. Perilaku yang berulang-ulang tersebut itulah nanti yang akan tertanam menjadi yang namanya budaya organisasi. Sebut saja kalau saya mengatakan "birokrasi banget ya...", maka dalam pikiran kita semua sudah tertanam perasaan "pasti lambat, pasti bertele-tele", sehingga secara tidak sadar kita akan berperilaku "malas kalau berurusan dengan birokrasi, biar cepat pakai jalan pintas sajalah".

Kembali pada kasus Pak Bambang, rupanya ia berhadapan pada sulitnya mendapatkan kesepemahaman dengan para pejabat lain sehingga keputusan organisasi tidak tercapai dan tidak ada aksi nyata di tempat kerjanya tersebut. Akar masalahnya adalah para pejabat yang dihadapi Pak Bambang adalah para pemimpin-pemimpin juga yang punya pengalaman yang kemungkinan besar berbeda dengan pengalaman yang diperoleh Pak Bambang. Lalu bagaimana dong cara mendapatkan kesepemahaman? Caranya janganlah menggunakan pola pikir kita sendiri, pahami terlebih dahulu pola pikir orang yang kita hadapi tersebut. 

Contohnya, jika istri/pacar anda meminta dipilihkan baju apa yang cocok ia kenakan untuk ke pesta, saya yakin (di atas 90%) bahwa baju yang anda pilihkan itu, nanti pasti tetap tidak dipakai. Istri/pacar anda itu tetap akan memilih baju lain yang menurut dia lebih pantas. Mereka meminta pendapat hanya untuk mendapatkan perhatian atau penguatan terhadap apa yang sudah mereka pilih.

Dalam sebuah organisasi/perusahaan, umumnya di perusahaan besar, ada 3 sub kultur/budaya yang sangat-sangat mempengaruhi pola pikir karena lingkungan pekerjaan ("3 in 1" Budaya Organisasi), yaitu:

1. Operator. Adalah pegawai yang memproduksi atau menjual barang/jasa di perusahaan. Asumsi dasar mereka pada umumnya:

  • Kami adalah sumber daya kritikal, kamilah yang menjalankan perusahaan.
  • Kesuksesan perusahaan tergantung pada pengetahuan, keterampilan, kemampuan belajar, dan komitmen kami.
  • Pengetahuan dan keterampilan kami diperoleh dari pengalaman yang spesifik sesuai dengan kompetensi inti perusahaan.
  • Untuk dapat menyelesaikan pekerjaan, kami tergantung dari manajemen memberikan sumber daya yang sesuai, pelatihan, dan dukungan.

2. Designer/Engineer. Adalah pegawai yang memiliki pengetahuan bagaimana teknologi digunakan dalam proses produksi. Asumsi dasar mereka pada umumnya:

  • Dunia yang ideal adalah mesin yang elegan dan proses kerja yang presisi, sempurna dan selaras tanpa melibatkan unsur manusia.
  • Manusia adalah masalah, mereka dapat melakukan kesalahan, sementara mesin tidak. Jika memungkinkan sistem dirancang sedemikian mungkin tidak melibatkan manusia.
  • Solusi berdasarkan penelitian dan teknologi yang tersedia.
  • Pekerjaan sesungguhnya adalah menyelesaikan teka teki dan mengatasi masalah.
  • Pekerjaan harus berorientasi pada produk atau hasil.

3. Executives. Adalah para top management di perusahaan. Asumsi dasar mereka pada umumnya:

  • Fokus pada finansial.
  • Pahlawan kesepian. Seperti halnya superman yang mampu menjaga bumi dan punya tanggung jawab besar, terkadang harus menyamar menjadi orang lain, tidak bisa menjadi diri sendiri dan berperilaku semaunya, akibatnya tidak terlalu bebas dan sedikit teman.
  • Tidak mudah percaya kepada anak buah. Selalu kritis terhadap pendapat dari anak buah, karena sering anak buah melaporkan data-data yang baik saja, sehingga terkadang intuisi pemimpin harus lebih kuat.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline