Beberapa bulan terakhir ini, Indonesia mengalami kelangkaan minyak goreng kelapa sawit. Hal ini terdengar tidak logis mengingat Indonesia sendiri merupakan produsen sawit terbesar di dunia. Salah satu akibat langkanya minyak goreng ini ialah karena adanya kenaikan harga CPO (Crude Palm Oil) di pasar internasional.
Naiknya harga CPO ini menjadikan produsen minyak goreng lebih memilih untuk mengekspor CPO ke luar negeri daripada memasoknya ke dalam negeri karena pastinya akan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar. Akibat terlalu banyak CPO yang di ekspor ke luar negeri, maka per tanggal 28 April 2022 Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan baru yaitu pelarangan ekspor CPO. Kebijakan ini dijalankan dengan tujuan agar pasokan minyak goreng dalam negeri terpenuhi dan dapat menekan kenaikan harga serta kelangkaan minyak goreng. Namun, pada praktiknya banyak sekali dampak negatif yang timbul ketika kebijakan ini dijalankan.
Ekonom MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi, mengatakan CPO dan produk turunannya menyumbang lebih dari 80% ekspor lemak dan minyak hewan nabati dan menyumbang sekitar 11,52% dari total ekspor Indonesia tahun 2021. Di tahun yang sama, data Badan Pusat Statistik menyebutkan Indonesia mengekspor sekitar 25,5 juta ton CPO dan turunannya dengan nilai US$ 26,67 miliar atau rata-rata 2,13 juta ton senilai US$ 2,22 miliar per bulan. Ketika kebijakan ini dijalankan maka berakibat pada tergerusnya devisa ekspor tersebut akibat turunnya kinerja ekspor Indonesia, mengingat ekspor minyak sawit mentah merupakan penyumbang terbesar devisa ekspor di Indonesia. Hal ini menjadi suatu ancaman bagi kinerja ekonomi makro Indonesia.
Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani mengatakan pelarangan ekspor CPO telah menahan sekitar 1,6 juta ton ekspor CPO selama satu bulan. Sehingga estimasi pengeluaran penerimaan bea keluar dari ekspor tersebut berkurang sekitar Rp900 miliar. Selain itu devisa negara juga berkurang sekitar 2,2 miliar USD atau setara Rp32 triliun.
Dengan berkurangnya nilai ekspor ini, neraca transaksi berjalan Indonesia berbalik defisit pada kuartal II-2022. Neraca transaksi berjalan akan surplus sekitar 0,1% PDB pada kuartal I-2022, sedangkan pada kuartal II-2022 CAD bisa di kisaran 0% PDB hingga 0,5% PDB. Ini juga akan berpotensi menurunkan nilai surplus Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dan kemudian nantinya akan berimbas pada penurunan nilai tukar rupiah, jelas Josua Pardede selaku Kepala Ekonom Bank Permata.
Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, Indonesia merupakan eksportir utama CPO dengan memasok sekitar 60 persen dari total pasokan CPO dunia. Dalam hal ini, ketika pelarangan CPO diberlakukan maka akan mengurangi pasokan CPO di pasar Internasional, yang nantinya akan berdampak pada perekonomian di berbagai negara dan juga akan berdampak pada upaya pemulihan ekonomi.
Kebijakan ini berjalan kurang lebih selama satu bulan dan resmi diberhentikan pada tanggal 23 Mei 2022. Walaupun dengan berjalannya kebijakan ini Indonesia mengalami kerugian yang sangat besar. Namun, kebijakan ini berhasil menyejahterakan masyarakat sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengakses minyak goreng. Selain itu, Josua Pardede mengatakan bahwa kebijakan ini efektif dalam menjaga stabilitas inflasi dalam negeri. Semoga ke depannya nanti pemerintah dapat mengendalikan pengeluaran ekspor CPO dan memperhatikan peningkatan permintaan CPO dan produk turunannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H